Sabtu, 09 Juli 2022

Short Trip Pagar Alam Vol. 3

Short Trip Pagar Alam Vol. 3

Di Mana Puncak Dempo?



Setelah puas main mandi di Curup Tuju Kenangan, perjalanan lanjut ke Tugu Rimau. Tugu Rimau terletak di ketinggian 1900 mdpl. Baru sebentar perjalanan mulai deh gerimis. Cuaca di sini benar-benar tidak menentu. Yang jelas hari itu matahari cuma menghangatkan di pagi hari. Sisanya mendung sepanjang hari.

Mobil melaju dengan stabil. Stabil banget malah. Saya langsung excited begitu melihat kebun teh yang luas milik PTPN. Kami sudah sampai di kaki gunung Dempo. Dan dari sini seharusnya kami sudah bisa melihat puncak Dempo. Sayang sekali, sungguh sayang, sekitar kami berkabut. Kabut tebal menyelimuti daerah kebun teh. Untungnya jarak pandang masih terlihat. Jadi ya, perjalanan kami ini masih cukup menyenangkan.

Dan tentu saja perjalan ke Tugu Rimau tidak akan lurus-lurus saja, selalu ada tikungan yang curam yang bisa dipastikan setiap menikung saya akan cemas dan panik. Dalam hati selalu berdzikir. Dzikirnya campur aduk, dzikir karena tanjakan, panik, sekaligus karena bersyukur bisa ke sini melihat keindahan kebun teh, dan tentu saja terpesona. Sungguh, Maha sekali Allah dengan segala penciptaan-Nya.

Hamparan kebun teh di kaki Dempo

Di setiap tikungan paling tajam Fatu pasti ngidupin klakson. Saya harus bersiap-siap kalau tidak mau ikutan latah, ya, walaupun masih latah juga karena menikung. Wajah cemas tak bisa dipungkiri, mulut komat-kamit beristighfar. Dan, saya itu suka mabuk perjalanan, apalagi jalan berliku-liku begini, firasat saya, pasti muntah nih. Ternyata.... No. Tidak. Sama sekali saya tidak mabuk perjalanan. Mantap. Saya sampai mau standing ovation untuk diri saya sendiri. Apa karena perjalanannya menyenangkan ya?

Fatu memarkirkan mobil di pinggir jalan persis di depan gerbang Pondok Akhlak atau yang dikenal juga dengan sebutan Bukit Teletubbies. Kita berfoto-foto di sana. Kita tidak ke pondoknya hanya berfoto di jalan yang sesekali motor dan mobil lewat. Mencari view yang cantik. Padahal di sana view-nya cakep semua. Dari arah mana saja pemandangan indah memesona. Sejauh mata memandang panorama hijau kebun teh. Sejuk amat dah pemandangan.


Saya pinginnya ke pondok di Bukit Akhlak itu, view di sono pasti lebih keren. Namun sudah ada orang yang duduk-duduk di sana. Kita juga udah dikejar waktu, karena tujuan utama kita ke Tugu Rimau. Maka saya membesarkan hati sendiri dengan bilang, nanti pasti kamu balik lagi ke sana, Jaka. Puas-puasin deh di Bukit Akhlak. Tentu dengan cuaca yang bersahabat.

Mobil kembali melaju, kami melewati jalanan curam nan berliku lagi. Kami melewati kampung Dua. Pemukiman warga di kaki gunung ini memang dinamakan dengan angka. Ada empat Kampung di kaki gunung ini. Kampung 1, 2, 3, dan 4. Sekadar info, kampung 4 merupakan salah satu jalur pendakian bagi yang mau muncak ke Dempo. Itu jalur favorit para pendaki. Jalur di sana lebih bagus treknya dibanding jalur Jarai ataupun Tugu Rimau yang menjadi destinasi kami kali ini. Ya, Tugu Rimau juga menjadi jalur pendakian bagi para pendaki. Di sana titik awal pendakian. Saat kami datang pun ada beberapa pendaki yang duduk-duduk di sana dengan carier mereka yang penuh. Biasanya jalur Tugu Rimau dilewati pendaki ketika turun dari puncak. Jadi naiknya dari kampung 4, turunnya dari jalur Tugu Rimau.

Depan Tugu Rimau yang termasyhur

Tiba di Tugu Rimau, hujan lebat. Tiba-tiba kepikiran para pendaki. Kasihan sekali mereka yang memutuskan untuk mendaki hari ini. Apalagi yang sudah diperjalanan atau telah sampai di pelataran. Duh, pasti kedinginan banget. Benar-benar deh cuaca di sini tidak menentu. Di bawah tidak hujan, paling sesekali gerimis. Sedang di atas sini lebat sekali hujannya. Kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu sekadar mengelabui perut yang kosong. Saya, Fatu, Oji, dan Mang Lek memesan mie rebus plus telur. Sementara Mutia dan Tari memesan pop mie, juga Adit namun dengan tambahan nasi soto. Dan jangan kaget jika harga makanan di sini cukup mahal. Jelas mahal dong, lah naik ke atas sini saja butuh perjuangan. 

Hujan masih belum reda, kita memutuskan untuk shalat dulu di musholah. Saya sempat berbisik ke Mang Lek, ini loh musholah tempat Hilya dan Fathan shalat di novel Miquelli karya mbak Yana alias Azzura Dayana. Beliau sok-sokan mau foto di sana juga. Yang lain cengo ketika kami membicarakan soal Miquelli yang setting tempatnya kebanyakan di Dempo. Itu novel favorit Mang Lek. Dia jatuh cinta sama novel dengan tema pendakian itu. Kebetulan Tugu Rimau menjadi salah satu setting ketika Hilya dan rombongan turun muncak. Dan saya sempat berpikir ketika Hilya dan Fathan makan di sana, mereka mengambil tempat yang sama dengan tempat kami makan mie rebus saat itu. Hehe....

Ketika usai shalat, tiba-tiba hujan reda. Ini kayaknya ada yang berdoa saat shalat biar hujannya reda agar bisa berfoto. Walaupun hujan reda, langit tetap mendung dan kabut tidak hilang. Kami lalu mengeksplor sekitar Tugu Rimau. Mencari spot yang terbaik untuk foto. Kami menuju ke perkebunan teh mencoba mendapatkan tulisan Pagar Alam yang terpampang besar di sana. Juga berfoto depan Tugu Rimau yang iconic. Saya iseng sempat-sempatnya berfoto di 'bulan sabit'. Harusnya ya, harusnya puncak Dempo kelihatan dari sini. Harusnya puncak Dempo menjadi latar setiap foto kami. Sayang sekali puncaknya tidak terlihat sama sekali karena tertutup kabut yang tebal. Di mana Puncak Dempo?

Tim Pagar Alam. Latar di belakang foto kabut menyelimuti.

Kalau dipikir ulang sepertinya saya harus kembali ke sana. Kenapa? Untuk melihat puncak Dempo yang hari itu tertutup kabutlah. Selain itu saya juga merasa harus balik lagi ke sana dengan alasan lain yaitu saya lupa memesan jagung bakar. Alasan yang aneh. Tapi benar. Saya sempat bilang ke diri sendiri, saya harus beli jagung bakar sekalipun harganya mahal ketika usai makan mie. Keinginan itu juga saya utarakan ke Mang Lek dan Oji. Namun karena keasyikan berfoto jadi lupa mau pesan jagung bakar.

Puas berfoto saatnya turun. Begitu turun, kabut sedikit menghilang, tidak sebanyak saat tadi kami naik. Tidak ada yang harus disesali. Toh, puncak Dempo tetap tidak terlihat. Mobil terus melaju. Saya tidak tahu mobil ini akan menuju ke mana. Tahunya ke pusat oleh-oleh karena Adit mau membeli oleh-oleh. Pas parkir baru "ngeh" ternyata kami ke Tangga 2001. Jadi beli oleh-olehnya di sini toh. Karena nasib belum berpihak pada kami, toko-toko yang jual oleh-oleh tutup semua. Karena sudah kadung berada di sana, saya, Mutia, dan Tari berfoto-foto sebentar sementara yang lain menunggu di mobil. Mumpung di sini ya kan, kapan lagi bisa berfoto. Ternyata kabut masih tebal di atas sana. Harusnya dari sini kita bisa melihat gunung Dempo yang tinggi menjulang dan menjadi latar foto kami. Namun apa daya kabut masih menyelimuti. Duh, di mana Puncak Dempo?

Menuruni Tangga 2001

Kalian tahu mengapa lokasi ini disebut Tangga 2001? Disebut Tangga 2001 karena 2001 adalah tahun lahir kota Pagar Alam. Kota Pagar Alam diresmikan pada tahun 2001 oleh pemerintah dengan memisahkan diri dari kabupaten Lahat. Dan katanya jumlah anak tangga di sini berjumlah 2001 sesuai sebutannya. Ada yang bilang tidak sampai 2001 tapi tetap disebut demikian karena mengacu pada tahun lahir tadi.

Perjalanan pun akhirnya dilanjutkan. Kita menuju tempat oleh-oleh yang lain. Tidak jauh dari gerbang kawasan wisata Dempo, ada toko oleh-oleh. Kami memutuskan mampir di sana. Aneka ragam oleh-oleh khas Pagar Alam dijual di sana mulai dari snack, baju, kerajinan tangan, dan tentu saja  kopi dan teh khas Pagar Alam.

Kami semua membeli oleh-oleh. Tentu kopi dan teh jadi idola kecuali saya. Saya justru tidak membeli kopi atau teh tapi membeli bandrek. Tertarik membeli bandrek setelah baca komposisinya. Kayaknya enak dan pas racikan bandreknya. Pasti menghangatkan kalau diminum di kala hujan. Sebenarnya saya mau beli baju yang ada tulisan Pagar Alam-nya. Namun niat tersebut saya batalkan karena ada hal lain yang harus diprioritaskan. Baiklah, saya menghela napas dan mengatakan kepada diri sendiri, oke Jaka, nanti kamu kan mau balik lagi ke sini, lain kali saja kamu beli bajunya saat kembali lagi ke sini. Begitulah cara saya menghibur diri sendiri.

Depan toko oleh-oleh

Ternyata saya yang paling sedikit beli di antara yang lain. Saya hanya beli bandrek dan kerupuk kopi. Soal kerupuk kopi ini, kerupuknya enak banget. Sumpah. Pengen beli lagi deh. Agak nyesel sih beli satu. Itupun saya beli untuk dimakan sama-sama di mobil bukan dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Oleh-olehnya cukup bandrek saja. 

Usai belanja kita lanjut isi solar di SPBU. Sempat mampir di Indomaret sebentar. Lalu saatnya pulang ke kampung halaman tercinta. Pulangnya jalanan lancar jaya tiada hambatan. Berhenti kembali di Muara Enim untuk makan malam. Menunya kompak lagi, nasi goreng. Dari Muara Enim ke Prabumulih saya memutuskan untuk tidur. Entahlah, pengen aja gitu. Pokoknya nanti begitu sampai Prabumulih harus terbangun.  Karena memang sudah diniatkan untuk tidur, saya pulas banget tidurnya. Dan beneran saat saya terbangun kami sudah ada di jalan lingkar Prabumulih. Seperti sudah diatur begitu. Bener deh kalau sudah niat pasti ada saja jalannya.

Tak lama, tiba-tiba perut saya mules pengen BAB. Ampun deh, ini perut macam tidak bisa diajak kompromi. Saya coba tahan saja. Di jalan lingkar ini mana ada WC umum. Rumah warga saja tidak ada. Sepi. Berhasil sih. Tiba-tiba mulesnya hilang. Saya merasa aman. Namun, tiba-tiba si mules datang lagi. Tahan lagi dong. Namun kali ini saya capek menahan mules. Maka saya utarakan ke Fatu selaku pengendali mobil, cari masjid untuk berhenti, saya mau ke WC. Dan akhirnya kami mampir di masjid yang ada di Prabumulih.

Aman. Perjalanan dilanjutkan. Saya menikmati keindahan kota Prabumulih saat tengah malam. Kota ini sangat memorable bagi saya. Ada keluarga kedua saya di sini. Ada banyak saudara saya di sini. Saya suka kota ini. Di Gelumbang kita berhenti sebentar. Fatu mau menemui seorang 'dulurnya' di sana. Hanya dia yang turun mampir. Kita semua menunggu di mobil.

Tiba di Palembang, saat telah memasuki jalanan Musi Dua, kembali perut saya bertingkah. Nih perut kenapa tidak bisa diajak kompromi? Dengan berat hati saya bilang ke Fatu kembali, berhentikan mobil ini saya mau BAB lagi. Maka mobil berhenti di kios dekat Grand City.

Setelah dari kios, giliran Tari yang membawa mobil. Jalanan nampak lenggang malam itu. Ketika masuk daerah Musi Pait, kami disambut kabut yang lumayan agak tebal. Dalam hati saya berkata, tidak di Pagar Alam tidak di sini sama-sama berkabut. Sepertinya kabut menjadi teman kami saat itu. Akhirnya kami sampai ke rumah dengan selamat sentosa pada dini hari yang buta. Tinggal capeknya ini. Tapi itu urusan besok saja. Dan kisah perjalan ke Pagar Alam menyisakan cerita yang cukup berkesan di hati.

Pulau Punjung, 25 Juni 2022. 02.02

Catatan :

• Saya tidak ganti baju sejak dari berangkat sampai ke pulang. Haha.... Saya memakai baju itu-itu saja. Celana saya ganti dengan sarung. Itu karena celananya basah sebab saya pakai mandi di Curup Tuju Kenangan.

• Terima kasih tak terhingga untuk rekan saya di Divisi Karya FLP Sumsel, Ica dan keluarga yang sudah mengizinkan kami untuk menginap di pesantrennya. Ini sangat membantu sekali.

• Terima kasih untuk teman-teman perjalanan kali ini. Fatu, sang supir keren, Mang Lek, Oji, Adit, Tari, dan Mutia. Rencana dadakan ini jadi juga. Persiapan dua hari. Nego sana sini. Akhirnya datang juga ke Pagar Alam.

Rabu, 22 Juni 2022

Short Trip Pagar Alam Vol. 2

 Mendung, Hujan, dan Kabut 




Lepas sarapan di pesantren dan pamit pada tuan rumah, kami melanjutkan perjalanan ke kota Pagar Alam. Menurut Ica, masih setengah jam lagi. Perjalanan menuju ke sana, sangat menyenangkan. Sejauh mata memandang hijau semua. Pohon yang menjulang, hutan, dan kebun kopi. Mulut ini tak henti-hentinya bersyukur. Jika melewati rumah penduduk, banyak yang sudah termodernisasi tapi ada juga yang bertahan dengan keaslian rumah. Beberapa rumah di berbagai desa yang kami lewati masih mempertahankan keaslian rumah mereka. Warisan budaya. Bahkan ada rumah yang masih jelas ada ukiran di dinding luar rumahnya. Tinggi sekali itu nilai budayanya. Keren. Pengen mampir tapi tidak kenal. Mana kita juga ngikut orang yak, jadi nikmatin saja deh. Selain itu di papan petunjuk jalan ada banyak petunjuk ke situs megalitikum lagi. Duh, jadi mupeng kan pengen wisata sejarah. Jaka elu harus balik lagi.


Tujuan yang pertama kami adalah rumah teman Adit, yang semalam gagal kita tempati. Di sana agak lama. Mana tiba-tiba hujan lagi. Kirain ada apa begitu, ternyata tok cuma mampir. Kalau tahu begitu sebentar saja di sana. Serasa lebaran. Hehe...

Sekira pukul 09.07 kami pamit. Masih kondisi gerimis. Kami menuju air terjun Tuju Kenangan. Air terjun inilah yang dipresentasikan oleh Puteri Sumsel untuk nasional kostumnya di ajang Puteri Indonesia 2022 kemarin. Sayang sih perwakilan Sumsel ini tidak dapat selempang apapun. Bahkan di motion challenge terbata-bata. Mana tidak ada satupun portal peagant yang menjagokan. Lah, kok curhat. 


Sebelum menuju lokasi, mumpung ketemu bengkel, kami memutuskan untuk menambal ban yang bocor semalam. Dan untuk itu kami harus menunggu lama kembali. Soalnya harus beli ban dalam dulu. Kayaknya sih begitu yang saya tangkap. Dengan mengajak mamang bengkelnya, berangkatlah Fatu, Adit, dan Tari menuju bengkel yang lebih besar. Soalnya di sini tidak ada alatnya. Rasa-rasanya begitu. Lagi-lagi saya tidak paham.


Sambil menunggu, saya dan yang lain makan bakso dulu, yang kebetulan bersebelahan dengan bengkel. Bakso habis mereka belum juga datang. Saya malah sempat-sempatnya tertidur. Jam 10 lewat akhirnya selesai dan kita melanjutkan perjalanan.


Tujuan kami adalah Air Terjun Tuju Kenangan yang berada di kawasan wisata Dempo. Begitu masuk gerbang kawasan wisata Dempo kita tinggal lurus saja. Ikutin saja jalannya. Jalannya memang agak curam, berbelok dan tanjakkan. Jadi harus hati-hati. Tidak jauh kok dan mudah diakses. Ada plang besar yang menunjukkan lokasi air terjun.


Kami datang masih dalam kondisi hujan. Dan itu tidak menjadi halangan bagi kami untuk tidak ke lokasi. Terpaksa hujan-hujanan. Dari tempat parkir menuju air terjun sekitar 500 meter. Pertama kita akan menanjak terlebih dahulu. Lalu dapat bonus sedikit melewati kebun kopi. Sekitar 30 meter, turunan dan langsung menuju lokasi. Karena hujan kami sangat berhati-hati. Jalanan licin. Tapi tenang, ada tali dan batang bambu kok yang dibuat sedemikian rupa sebagai pegangan. Jalan tanahnya juga berundak-undak dibuat tangga, insya Allah memudahkan sekali. 


Air terjun terlihat di depan mata. Sepi. Jelaslah, siapa yang mau datang hujan-hujan begini. Karena kami sudah kadung jauh datang maka hujan bukan halangan. Cuaca dingin, air dingin. Klop. Beberapa teman sampai tremor. Fatu paling kasihan melihatnya. Ya Ampun, saya sampai khawatir. Perjalanan kami bergantung padanya. Ketika saya tanya apakah baik-baik saja, dia jawab tidak apa-apa. Masih kuat. Oke. Saya percaya.


Kita sempat foto-foto di sana. Ponsel saya sampai basah. Sudah kepalang tangung. Beruntungnya tak lama hujan berhenti. Bebatuan jadi licin. Harus ekstra hati-hati. Jam 12 kita undur diri dari sana. Selama di air terjun, hanya kita saja pengunjungnya. Tidak ada satupun pengunjung lain yang hadir. Serasa milik pribadi. 

Kenapa dinamakan air terjun Tuju Kenangan? Karena kalau kita datang ke sana maka akan tercipta kenangan yang akan selalu membekas. Apakah kenangan kami di sana membekas? Tentu saja. Sayangnya kami tidak bisa melihat kupu-kupu di sekitar sana karena hujan. Kabarnya kalau cuaca bagus kita bisa melihat banyak kupu-kupu beterbangan di sana. Mungkin lain kali. Bisa jadi. Dengan rombongan yang berbeda, mungkin. 


Setelah ganti baju, perjalanan dilanjutkan menuju Tugu Rimau, Gunung Dempo.



Pulau Harapan, 31 Mei 2022



Funfact : Saat sedang asyik berfoto, tiba-tiba kita semua panik. Mutia jatuh. Dia merosot mengikuti arus air karena hilang keseimbangan saat duduk di batu. Beruntung dia merosot dekat Tari jadi sempat dipegang. Kita panik. Terutama saya, apa yang harus saya jelaskan ke Ayahnya kalau terjadi apa-apa dengan anaknya. Saya yang minta izin ke ayahnya agar Mutia diizinkan ikut. Saat kita semua panik, Mutia malah ketawa. Seru, katanya. Tadi sempat direkam gak, Kak? ujarnya pada saya yang memang baru saja memotret mereka. Edan ini bocah. Tidak ada kapok-kapoknya

Sabtu, 28 Mei 2022

Short Trip in Pagar Alam Vol. 1

 Drama-drama Perjalanan 



Usai shalat subuh saya baru packing barang. Perlengkapan saya tidak banyak. Hanya bawa jaket, sarung dan dalaman, juga odol, sikat gigi, minyak wangi, dan krim pegal-pegal. Di Pagar Alam itu dingin sekali. Jadi pasti butuh penghangat. Penghangatnya ya krim pegal-pegal itu. Jam 6.30 saya berangkat dari rumah. Bukan langsung ke Pagar Alam bersama rombongan. Tidak. Saya ke sekolah dulu. Sekolah tempat saya mengajar mengadakan karya wisata. Jadi ceritanya nanti saya tinggal menunggu rombongan ke Pagar Alam di Palembang saja. Janjinya jam satu. Dan saya menunggu di OPI Mall.


Jam satu menunggu. Nyatanya jam 2 lewat mereka baru sampai. Kami berangkat ke Pagar Alam bertujuh. 5 laki-laki dan 2 perempuan. Fatu, Adit, Oji, Relly, Mutia, Tari, dan tentu saja saya sendiri. Menggunakan mobil dengan sopir yang sangat keren (nanti ada volume sendiri tentang sopir keren ini). Dan drama perjalanan pun dimulai.



Di mobil tentu saja kita sibuk bercerita, bercanda, ngemil, berfoto, dan bikin video. Saya banyakan paniknya. Apalagi kalau sopirnya ngebut, ya sudah, latahnya keluar. Kaget bener saya. 


Tiba di Prabumulih saya lupa kalau jalan yang biasa dilewati ditutup karena ada pembangunan flyover. Jadi jalan dialihkan ke jalan lingkar. Di sini juga dikabarin bahwa tempat yang jadi tujuan kita untuk menginap sebentar di Pagar Alam tak bisa dikunjungi. Temen Adit ada kerjaan. Saya mutar otak, berusaha menghubungi teman saya yang ada di Pagar Alam. Kepikiran nama Ica, kamerat saya di FLP. Alhamdulillah dia bersedia menampung kita di pesantrennya. Saya sebenarnya kasihan sama Mutia dan Tari. Kalau seandainya secowokan doang, kita mah tidur dimana saja oke.


Sampai Muara Enim berhenti sebentar untuk makan malam yang kemalaman. Kena prank betul, karena makannya kemahalan. Padahal kita harus hemat. Saya, mang Lek dan Mutia sampe saling tatap karena kaget dengan harga. Haha....


Perjalanan dilanjutkan. Selama perjalanan saya tidak mengantuk sama sekali. Menikmati perjalanan betul. Lepas dari kota Lahat, masuk ke Pulau Pinang, jalan mulai berkelok. Kecamatan Pulau Pinang, Lahat, ini terkenal dengan banyak air terjunnya. Saya sempat beberapa kali ke sini mengunjungi air terjunnya. Kecamatan ini juga berbatasan langsung dengan Pagar Alam. 


Fatu mengendalikan mobil dengan ngebut. Jalanan malam sepi. Biar jalannya berkelok manja, dia tetap stabil mengendarainya. Dan malam itu tanpa sengaja kami menabrak ular yang melintang di jalan raya. Awalnya kami mengira itu kayu. Serius! Sebab Fatu sempat nanya sebelum akhirnya memutuskan melimpis "kayu" itu. Setelah dekat baru sadar kalau itu bukan kayu. Mau ngelak tak terelakkan lagi. Benar-benar melintang mengisi separuh jalan. Kita semua kaget dan saya langsung istighfar.


Tak lama dari sana, ban mobil kami bocor halus. Tepat di depan jalan masuk ke air terjun Bidadari di desa Karang Dalam. Berhenti sebentar. Terpaksa ganti ban. Karena saya sangat tidak paham dengan hal ini, dalam hati hanya bisa bantu doa. Cuma lihat-lihat doang. Sedang sibuk mengganti ban, eh, si dongkrak tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Lalu Oji dan Mang Lek melambai-lambaikan tangan meminta bantuan ke mobil yang lewat. Ada yang berhenti, lalu bilang tidak bisa bantu. Alhamdulillah, ada mobil pick up yang berhenti. Meminjamkan dongkrak untuk kita.  Terima kasih untuk dua orang baik yang sudah membantu kita malam itu. Bahkan mereka ikut membantu tidak seperti saya yang cuma bisa melihat doang karena nggak ngerti. Daripada sok-sok bantu tapi malah merepotkan.




Setelah beres, perjalanan dilanjutkan. Saya tidak enak sama Ica nih. Harusnya kita jam sebelasan sudah sampai karena musibah ini jadi molor. Namun saya berusaha tenang. Mobil kita terus melaju tanpa hambatan. Tiba di tingkungan fenomenal Endikat saya merasa bahagia sampai bertepuk tangan, akhirnya saya merasakan melewati tikungan itu. Dan itu juga menandakan bahwa kita sampai di kota perjuangan, Pagar Alam. 


Menurut Ica, dari Endikat ke Pesantrennya itu masih setengah jam lagi. Perjalanan tengah malam itu pun tak menghambat penglihatan saya ke sekitar. Di perbatasan ini, rumah penduduk masih terawat keasliannya. Masih khas Pagar Alam, rumah panggung dengan atap seperti rumah Minang, lancip di ujungnya. Keren. Tidak tergerus zaman.


Tiba di Pesantren Ica, Alhamdulillah disambut dengan baik, ya, walaupun harus membangunkan tuan rumah tengah malam.  Setelah mengantar dua teman cewek kami ke asrama putri, giliran kami yang akan beristirahat. Alhamdulillah, saya bisa tidur nyenyak. Lumayan untuk persiapan besok menuju wisata Pagar Alam.




Pulau Punjung, 28-29 Mei 2022

Kamis, 28 April 2022

Dia yang Ingin Kusebut Adik

Dia yang Ingin Kusebut Adik 
Jaka Ferikusuma 


 Dulu sekali, entah beberapa tahun lalu, saya pernah bilang ke diri sendiri ketika usai diajaknya naik motor saat pergi jum'atan ke masjid, kayaknya seru deh kalau temenan sama dia.Setelah itu ucapan tersebut menguap begitu saja. Sebab kalau ketemu dia paling cuma senyum doang. 


 Dipengujung tahun 2021, Allah beri kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak dengannya. Bermula dari selfie bersama ketika rapat karang taruna. Entah mengapa malam itu dia mau-mau saja diajak selfie. Lalu lanjut jadi panitia turnamen bola, sekarang berdua mengurus lomba di masjid dimana kami menjadi pengurusnya. Semudah itu jika Allah menghendaki hamba-Nya menjadi dekat.
Saya tahu sedikit tentangnya dari beberapa temannya yang memang dekat dengan saya. Saya shock awal tahu dia begini, dia begitu. Tidak menyangka. Saya pikir dia "aman-aman" saja. Namun ternyata dia sedang tidak nyaman dahulunya. 


 Sekarang? Dia sudah jauh berubah. Dia menjadi pribadi yang lebih baik. Buktinya, saya malah kalah shalih dibanding dia. Pas bukber kemarin, ketika saya asyik menyuap nasi, dia malah ke masjid terdekat untuk shalat maghrib setelah meminum beberapa teguk air sekadar membatalkan puasanya.
Saya selalu mendoakan, menyebut namanya dalam doa, agar kebaikan terus menyelimutinya. Agar dia istiqamah di jalan kebaikan ini. Saya bahagia akhirnya menjadi satu circle bersamanya. Karena jujur saya tidak pernah terpikir akan menjadi seperti ini. Dia sekeren itu ternyata. Dia bangkit dari sisi buruknya. Memang saya tidak banyak tahu tentang dia, hanya dari cerita-cerita saja. Saya tidak berani mengorek-ngorek masa lalu orang kecuali dia sendiri yang cerita. Kepo amat saya sama kehidupan orang. 


Kedekatan kami ini, apalagi di bulan Ramadhan yang mulia ini, apakah adalah jawaban dari ucapan saya yang pernah bilang ingin temanan dengannya? Bisa jadi. Bukankah ucapan adalah doa. Allah, jaga ukhuwah kami. 

 
Pulau Harapan, 22 April 2022 
Kepada Fatu Alam.

Sabtu, 08 Januari 2022

Pesan Kepada Fatih

Bersama Fatih Hamizan (Dok. Pribadi) 


Kemarin saat ulang tahun siswa saya di MI, seperti biasa saya didaulat menjadi pembawa acaranya. Usai acara dan setelah makan, bertemulah saya dengan Fatih Hamizan dan ibunya. Fatih Hamizan, bocah berumur lebih dari dua tahun berwajah gembil dan menggemaskan. Dia adalah anak adik saya. Adik saya yang luar biasa. Adik saya yang baik sekali. Dan lewat tulisan ini saya ingin menyampaikan banyak hal untuk Fatih, begitu dia biasa dipanggil, tentang ayahnya.


Fatih, kau harus tahu bahwa ayahmu adalah orang baik. Sangat baik dan terlalu baik. Dia tidak pernah menyakiti siapapun. Dia tak pernah membuat sesiapa pun kecewa. Dia hanya pernah terluka lalu sulit menyembuhkannya. Aku saja yang terlalu egois terhadapnya.


Fatih, kau juga harus tahu bahwa ayahmu itu adalah orang yang kuat. Teguh. Dia tak pernah goyah dalam meraih apapun yang ingini. Tak peduli badai. Tak peduli aral. Dia selalu dapat meraihnya. Menjadilah kuat seperti ayahmu. Jangan takut. Jangan lengah. Kau harus selalu tangguh. Karena kelak pada masamu, mungkin badai dan aral akan semakin kejam.


Fatih, ayahmu adalah sosok yang hebat. Pembelajar yang baik. Tak ada sedikitpun sesuatu yang kupinta padanya tak dikerjakannya dengan baik. Selalu sempurna. Setidaknya ayahmu telah bekerja dengan sepenuh hatinya.


Fatih, ayahmu sempurna menjadi adikku. Ya dia sempurna menjadi adikku. Dia adikku. Takkan ada adik yang baik seperti dia lagi. Mau dicari di belahan bumi bagian manapun tidak akan ada yang sepertinya. Kau tahu mengapa? Karena dia adikku.


Fatih, kelak jika kau besar, dan kau mengerti semua ini, maka ingatlah bahwa ayahmu orang baik. Jangan pernah mengecewakan dia seperti aku yang selalu membuatnya terluka. Jangan pernah kau abaikan dia, jangan pernah kau membuatnya luka. Jadikan dia sebagai guru, teladan yang baik bagimu dalam menjalankan kehidupan.


Fatih Hamizan, kubagikan sedikit cerita tentang kami berdua, aku dan ayahmu, kakak adik yang penuh ego ini, bahwa ayahmu, adikku itu, pernah membelaku mati-matian. Melindungiku dari bahaya apapun. Padahal harusnya aku sebagai kakak yang melindungi dia dari semua kejahatan. Tapi bagi ayahmu, aku adalah kakaknya.


Kau mungkin bertanya apa ayahku pernah melakukan kesalahan? Aku bahkan  memuji ayahmu tanpa cela. Fatih, kuberi tahu kau, manusia mana yang tak melakukan salah. Tentu ayahmu pernah melakukan salah dalam hidupnya, begitu juga aku. Karena kami adalah kakak adik, maka kesalahan kami sejatinya sama, ego. Ego kami terlalu tinggi hingga pernah membuat kami hancur lebur menjadi debu. Untung saja, waktu memberi kami waktu untuk belajar, sabar dan ikhlas, maka sampai detik ini ayahmu masih adikku. Kami telah berdamai dengan ego kami, Fatih.


Fatih Hamizan, tak ada yang menandingi ayahmu dalam berbagai kebaikannya. Dia selalu terdepan dan terhebat. Jika kelak kau meragukan kebaikan dan kehebatan ayahmu, datanglah padaku. Aku adalah saksi kunci untuk segala keraguanmu terhadapnya. Sampai hari ini pun, hanya kebaikannya yang selalu terkenang.


Sebenarnya banyak hal yang ingin kuungkap padamu, Fatih Hamizan, tentang ayahmu. Hanya saja, berlembar-lembar tulisan tak akan sanggup untuk menyudahi kisahnya. Kau hanya perlu tahu bahwa ayahmu orang baik. 


Akhirnya, aku hanya mampu berpesan lewat tulisan ini, menjadilah baik seperti ayahmu. Tidak perlu menjadi orang lain, kau hanya perlu menjadi Fatih Hamizan yang baik. Aku mencintaimu berlipat-lipat, seperti aku menganggap ayahmu sebagai adikku.



Pulau Harapan, 08 Desember 2021
*semoga kelak kau membaca tulisan ini, Fatih Hamizan. 

 



Kamis, 16 Desember 2021

Mereka yang Bercerita

 


Kejadian ini terjadi di Saung Rumah Qur'an Nurussa'adah Pulau Harapan. Kebetulan mereka bertiga yang ada di foto (perhatikan foto dengan jelas, ada seorang anak yang sembunyi di balik baju merah maroon) masuk dalam kelas saya. Hanif, Diaz, dan Rasya.

Setelah selesai muraja'ah, membaca alat peraga metode Ummi, dan mengaji, tibalah waktunya untuk menulis. Ketiga anak ini menulisnya persis di dekat meja saya. Sambil menulis ketiga anak ini bercerita sesama mereka, sesekali mengajak saya dan bertanya ini itu. Apa saja mereka ceritakan. Dan kali ini mereka bercerita tentang liburan. Saya mendengar semua kisah mereka sambil fokus menulis di kartu prestasi mereka.

Rasya bilang besok dia mau ke Lampung. Aku juga ikut, sambung Diaz. Rasya dan Diaz masih ada hubungan keluarga. Hanif tidak mau kalah dong. Aku mau ke Palembang, ujarnya.
"Nanti kami mau ke pantai, ustadz," jelas Rasya. Saya tersenyum menatap Rasya sebagai respon lalu kembali fokus menulis di kartu. "Kita mau berenang."
"Aku juga pernah ke pantai," terang Hanif.
"Air pantai rasanya asin," kata Diaz.

Pikir saya, bocah-bocah ini kecil-kecil tapi liburannya sudah kemana-mana. Saya sewaktu kecil liburannya hanya bermain bersama teman-teman di dalam hutan. Boro-boro ke pantai. Pertama kali ke pantai saja ketika usia SMA. Beruntung sekali mereka.

"Ustadz, besok kalau ke Palembang kami mau ke PS," kata Hanif yang matanya fokus ke papan tulis.
"Aku sering diajak Bunda ke PS, " balas Rasya.
Haduh, lagi-lagi saya agak tercengang mendengarnya. Saya yang sebesar ini saja jarang sekali masuk mall. Mereka dengan mudahnya bilang sering masuk mall. Anak-anak jaman sekarang ya.

Mereka bertiga terus bercerita hingga selesai menulis dan diponten. Saya selalu senang dengan dunia anak-anak. Mereka lugu dan menggemaskan. Rajin-rajin mengaji Hanif, Diaz, dan Rasya  biar jadi anak yang shalih dan bisa membanggakan orang tua.

Pulau Harapan, 09122021

Senin, 25 Oktober 2021

Empat Lawang Journey : Perjalanan yang Memabukkan

Empat Lawang Journey : Perjalanan yang Memabukkan




Setelah rapat panjang, akhirnya tiba saatnya melakukan perjalanan panjang menuju bumi Empat Lawang. Empat Lawang akan menjadi tuan rumah Writing Camp FLP Sumsel. Dan saya akan menjadi salah satu pemateri dalam acara tersebut.

Jumat (151021) pukul 06.50 saya sudah bersiap menuju ke Palembang. Rencananya saya akan berangkat bersama teman-teman dari Palembang. Kami janjian bertemu di simpang empat Jakabaring. Menunggu Damri di sana, lalu berangkat ke Prabumulih. Kenapa Prabumulih? Karena kami janjian kumpul di sana. Di sana sudah menunggu teman-teman dari Prabumulih dan Ogan Ilir. Kami akan berangkat bersama.

Sampai Prabumulih, orang-orang sudah selesai shalat jumat. Kita ketemunya di komplek Pertamina. Sambil menunggu mobil menjemput, kita yang dari Palembang shalat dulu, makan, dan istirahat sebentar. Sekira pukul 14.00 kita melanjutkan perjalanan.

Baru berangkat sebentar saya sudah membuat drama. Saya kehilangan gawai alias hape. Satu mobil heboh. Haha.... Bukan Jaka namanya kalau tidak membuat kehebohan. Tapi itu hanya berlangsung 5 menit. Ternyata hape saya ada di dalam tas. Dasar tidak teliti saja sewaktu memeriksanya.

Bukan hanya itu saja tingkah saya, saat mau masuk kota Muara Enim, tiba-tiba perut saya mules. Mana saya sudah mulai mabuk perjalanan. Maka, saya mati-matian menahan untuk buang air. Untung bapak sopirnya dengan baik hati mampir sebentar di SPBU. Buang hajatlah saya di tolitenya.

Perjalanan dilanjutkan. Memasuki kota Lahat, peserta di mobil heboh dengan penampakan bukit Jempol. Mereka sibuk merekam dan memoto dari dalam mobil. Perjalanan terus berlanjut. Jalanan curam dan berliku. Untungnya, walau dalam kondisi mabuk perjalanan, kami di dalam mobil sibuk bercerita. Jadi saya merasa tenang karena tidak akan muntah.



Sampai adzan maghrib tiba, mobil kita berhenti di masjid di daerah Kikim Timur. Kami menjama' shalat di sana. Mulai dari sini penderitaan saya dimulai. Saat memasuki mobil, hari sudah gelap. Teman-teman yang ada di mobil yang semula asyik bercerita tiba-tiba hening. Dalam hati saya menggerutu, 'alamat muntah di tengah jalan ini.'

Benar saja, kepala saya tambah pusing. Perut saya sudah macam diaduk-aduk sementara perjalanan menuju Tebing Tinggi masih dua jam lagi. Ya salam....

Dalam hati saya menggerutu, berdoa, menguatkan hati, 'Jaka, kamu kuat. Kamu hebat. Tahan. Jangan muntah di dalam mobil. Nanti kalau sampai baru keluarkan semua isi perut."

Sepanjang dua jam perjalanan saya mensugesti diri saya sendiri. Kuat. Hebat. Tahan. Sambil mata sesekali melirik ke luar mobil, sudah masuk daerah Empat Lawang belum. Saat saya melihat tulisan Tebing Tinggi, saya bersorak dalam hati. Bentar lagi sampai.

Saya ribut saat, mobil melambat karena mencari hotel tempat nanti kami menginap selama di Tebing Tinggi. Ketemu. Begitu masuk parkiran hotel saya buru-buru keluar mobil dan mencari posisi paling baik untuk muntah. Saya muntah dengan sukses. Semua isi perut berhasil keluar. Saya lemas. Tapi senang, berhasil mensugesti diri sendiri untuk tidak muntah di mobil.

Sungguh, perjalanan ini melelahkan. Tapi akan terbalas dengan kegiatan selama saya berada di sini. Inilah awal perjalanan saya di kabupaten Empat Lawang.


Funfact perjalanan :

Pulang pergi kami shalat maghrib di masjid yang sama. Masjid Nurul Hidayah Desa Gunung Kembang Kec. Kikim Timur Kab. Lahat. 

Pulau Harapan, 23 Oktober 2021