Pertamanya punya adik angkat (saya tidak suka istilah ini sebenarnya. Kalau adik ya sudah adik saja.) ya dia ini orangnya. Dialah orang pertama yang saya anggap seperti adik kandung sendiri. Saat itu saya kuliah semester 1 dan dia kelas 2 SMA tahun 2006. Jangan ditanya mengapa kami bisa kenal? Tidak ada yang mengenalkan kami. Tidak ada orang yang menjadi perantara kami bisa kenal. Allah saja yang menggerakkan kami untuk saling kenal.
Awal kenal versi saya adalah dia pertama kali SMS saya. Jaman dulu belum ada aplikasi chatting. SMS dan nelpon jadi andalan. Lumayan panjang isi SMS nya waktu itu. Tapi singkatnya kira-kira begini :
"Assalamualaikum. Afwan, ana tahu antum orang baik. Ini siapa ya? Ana hanya ingin tahu saja antum siapa. Tidak baik jika harus mengerjai saudaranya sesama muslim."
Saya kaget dong. Ini siapa? Bahasanya ana antum pula. Ini teman di dusun tidak mungkin. Karena saat itu saya sedang mau yasinan di rumah teman maka SMS itu saya abaikan sejenak. Saya juga yakin orang yang SMS ini pasti orang baik. Saya ingat betul akhirnya lepas isya saya balas SMS itu.
"Waalaikumussalam. Ane yakin antum juga orang baik. Tapi afwan sebelumnya, ane benaran tidak tahu siapa antum? Kok tiba-tiba SMS seperti ini."
Akhirnya kita saling berbalas pesan SMS. Dia ngotot, kekeuh, bilang saya yang SMS duluan makanya akhirnya dia SMS seperti itu. Saya juga beberapa kali misscall nomornya, katanya. Saya bingung. Saya sampai ngecek riwayat panggilan dan tidak ada nomornya itu. Aneh. Dan bermula dari sanalah kedekatan kami terjadi. Bersyukur. Sampai detik ini saya sangat bersyukur bisa mengenalnya.
Seminggu kemudian kita janjian bertemu. Saya ingat betul tempat pertama kita saling tatap muka. Ketika tangan kami terikat salam. Ketika untuk pertama kali saya melihat senyum sumringahnya. Di depan SMA Negeri 10 Palembang, sekolahnya. Dia alumni sana. Itu tempat bersejarah sekali. Saya kalau lewat situ rasanya bahagia sekali padahal cuma trotoar.
Berbagai kisah kami jalin. Kami masih sama-sama labil ketika itu. Saya masih suka emosian. Ego saya kadang terlalu tinggi. Eh, sampai hari ini dia masih menganggap saya keras kepala. Tidak hanya sekali kami beradu argumen sampai debat. Beberapa kali malah berujung pertengkaran. Tidak saling tegur beberapa bulan lamanya. Lalu berbaikan tanpa alasan.
"Kak, kita kemarin bertengkar karena apa ya?"
"Entahlah. Kakak juga sudah lupa."
Lalu kami tertawa bersama. Kejadian seperti ini sering terjadi. Bahkan pernah lebih dari setahun tidak saling kontak. Aneh ya. Tapi walau begitu saya selalu mendoakan yang terbaik untuknya setiap shalat.
Begitulah kami. Kadang tertawa kadang bertengkar. Saya sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Harusnya saya sebagai kakak mengalah untuk dia waktu itu. Dia kan adik, saya kakak. Ini tidak, malah tidak mau mengalah sama sekali. Kakak macam apa saya ini? Haha.... Wajar kalau saya dia anggap keras kepala.
Saya dan dia itu sudah merasakan banyak konflik. Sekarang mah kalau dia ngomel-ngomel saya ketawa saja. Mana sedikitpun tersinggung. Bukannya itu tanda dia peduli sama saya ya?
Beberapa teman saya ada yang kenal dengannya. Sengaja saya kenalkan sebab saya juga mengenal beberapa temannya di sekolah dulu. Saya sering menginap di kost-nya selama kuliah. Dia memang kost di Palembang. Aslinya dari Sukarame, Talang Ubi, Muara Enim. Sekarang sudah punya rumah sendiri di Gandus. Sudah jadi warga Palembang. Hidup bahagia bersama istri dan anaknya. Walau sekarang dia kerja di Papua sana. Alhamdulillah sampai detik ini kami masih rajin komunikasi.
Dia juga beberapa kali ikut saya pulang. Menginap di rumah. Orang di rumah tahu siapa dia. Sayang sampai hari ini saya belum mengenal kedua orang tuanya kecuali lewat foto.
Saya mengenal dia sebagai pribadi yang baik. Dia sering memotivasi saya untuk terus dekat dengan Allah dan mencintai Al-Qur'an. Di situlah dia sering ngomel-ngomel kalau kakaknya ini malas baca Qur'an dan ibadah. Baca dua isi pesannya untuk saya ini :
"Dinasehati orang lebih paham. Diingatkan selalu orang lebih tua. Dimarah takut kualat."
"Terima kasih, Kak. Semoga ini saya omel omel yang terakhir. Bantulah adikmu ini saling menguatkan dakwah ini 🙏🏿"
Terus terang saya terenyuh sekali waktu dia kirim pesan seperti itu. Aduh... Adik saya satu ini memang yang terbaik. Ingin kakaknya terus jadi orang baik. Prinsip saya dalam bersaudara adalah saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Dan dia benar-benar menerapkan itu. Saya kadang minder sama dia. Kok ya dia lebih baik imannya dibanding saya yang dari dulu gini-gini aja. Bahkan di mata saya dia makin shalih dari hari ke hari. Adakala memang sedang down, tapi dia selalu bisa melawannya. Makanya saya sangat beruntung sekali bisa mengenal dia. Bisa akrab. Bisa menjadi saudaranya.
Makin ke sini dia juga makin bijak. Duh, dibanding saya belum ada apa-apanya. Dari dulu sampai sekarang saya ya begini-begini saja. Tidak banyak berubah. Tanya saja dengan mereka yang mengenal saya.
Maka tidak salah rasanya jika suatu hari ketika saya meninggal kelak dengan membawa bekal saya yang sedikit ini, adikku, saya berharap jika kau tak temukan kakakmu ini di surga, maka cari kakakmu ini di neraka. Kakak butuh syafaatmu. Kakak berharap kau mau lakukan itu untuk kakakmu yang dhaif ini. Berharap keakraban kita ini akan terus berlanjut hingga ke akhirat. Jika pun kau tidak berkenan mencari kakakmu ini di neraka dan menjemputnya ke surga karena kakakmu ini terlalu hina untukmu, setidaknya kau doakan saja kakakmu mendapatkan keringanan atas dosa yang ia lakukan. Kakak sadar diri kok sudah terlalu banyak menyusahkanmu di dunia ini.
Kakak berharap kau terus hidup bahagia bersama keluarga kecilmu. Terus menjadi adik yang setiap saya cerita ke orang-orang adalah adik kebanggaan melebihi adik kandung sendiri. Tetap menjadi adik saya yang baik dan seperti yang kakak kenal. Tetap selalu istiqamah dalam dakwah ini. Kakakmu takkan putus mendoakanmu setiap usai shalat. Namamu akan terus ada di dalam doa kakakmu. Terima kasih telah menjadi inspirasi selama ini. Telah rela berbagi kisah dengan kakakmu yang kadang tulalit kalau diajak cerita. Maaf kalau kakakmu ini tidak seperti yang diharapkan. Tidak menjadi kakak yang baik. Tidak menjadi kakak yang menjaga dan mengayomi adiknya. Tapi setidaknya kakak sudah berusaha kok, walau ujungnya malah sering bikin kecewa adik.
Dik, cari kakak di neraka jika kau tak temukan kakak di surga-Nya Allah.
Pulau Harapan, 18 - 30 April 2020
*Butuh dua minggu untuk akhirnya selesai menulis ini. Berharap ketika menulis ini tidak ada air mata. Ditulis putus-putus, perparagraf. Awalnya berhasil. Tapi endingnya tumpah juga air mata ini.