Kamis, 30 April 2020

Cari Aku di Neraka


Cari Aku di Neraka
Untuk Kandri

Jaka Ferikusuma


Pertamanya punya adik angkat (saya tidak suka istilah ini sebenarnya. Kalau adik ya sudah adik saja.) ya dia ini orangnya. Dialah orang pertama yang saya anggap seperti adik kandung sendiri. Saat itu saya kuliah semester 1 dan dia kelas 2 SMA tahun 2006. Jangan ditanya mengapa kami bisa kenal? Tidak ada yang mengenalkan kami. Tidak ada orang yang menjadi perantara kami bisa kenal. Allah saja yang menggerakkan kami untuk saling kenal.

Awal kenal versi saya adalah dia pertama kali SMS saya. Jaman dulu belum ada aplikasi chatting. SMS dan nelpon jadi andalan. Lumayan panjang isi SMS nya waktu itu. Tapi singkatnya kira-kira begini :

"Assalamualaikum. Afwan, ana tahu antum orang baik. Ini siapa ya? Ana hanya ingin tahu saja antum siapa. Tidak baik jika harus mengerjai saudaranya sesama muslim."

Saya kaget dong. Ini siapa? Bahasanya ana antum pula. Ini teman di dusun tidak mungkin. Karena saat itu saya sedang mau yasinan di rumah teman maka SMS itu saya abaikan sejenak. Saya juga yakin orang yang SMS ini pasti orang baik. Saya ingat betul akhirnya lepas isya saya balas SMS itu.

"Waalaikumussalam. Ane yakin antum juga orang baik. Tapi afwan sebelumnya, ane benaran tidak tahu siapa antum? Kok tiba-tiba SMS seperti ini."

Akhirnya kita saling berbalas pesan SMS. Dia ngotot, kekeuh, bilang saya yang SMS duluan makanya akhirnya dia SMS seperti itu. Saya juga beberapa kali misscall nomornya, katanya. Saya bingung. Saya sampai ngecek riwayat panggilan dan tidak ada nomornya itu. Aneh. Dan bermula dari sanalah kedekatan kami terjadi. Bersyukur. Sampai detik ini saya sangat bersyukur bisa mengenalnya.

Seminggu kemudian kita janjian bertemu. Saya ingat betul tempat pertama kita saling tatap muka. Ketika tangan kami terikat salam. Ketika untuk pertama kali saya melihat senyum sumringahnya. Di depan SMA Negeri 10 Palembang, sekolahnya. Dia alumni sana. Itu tempat bersejarah sekali. Saya kalau lewat situ rasanya bahagia sekali padahal cuma trotoar.

Berbagai kisah kami jalin. Kami masih sama-sama labil ketika itu. Saya masih suka emosian. Ego saya kadang terlalu tinggi. Eh, sampai hari ini dia masih menganggap saya keras kepala. Tidak hanya sekali kami beradu argumen sampai debat. Beberapa kali malah berujung pertengkaran. Tidak saling tegur beberapa bulan lamanya. Lalu berbaikan tanpa alasan.

"Kak, kita kemarin bertengkar karena apa ya?"

"Entahlah. Kakak juga sudah lupa."

Lalu kami tertawa bersama. Kejadian seperti ini sering terjadi. Bahkan pernah lebih dari setahun tidak saling kontak. Aneh ya. Tapi walau begitu saya selalu mendoakan yang terbaik untuknya setiap shalat.

Begitulah kami. Kadang tertawa kadang bertengkar. Saya sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Harusnya saya sebagai kakak mengalah untuk dia waktu itu. Dia kan adik, saya kakak. Ini tidak, malah tidak mau mengalah sama sekali. Kakak macam apa saya ini? Haha.... Wajar kalau saya dia anggap keras kepala.

Saya dan dia itu sudah merasakan banyak konflik. Sekarang mah kalau dia ngomel-ngomel saya ketawa saja. Mana sedikitpun tersinggung. Bukannya itu tanda dia peduli sama saya ya?

Beberapa teman saya ada yang kenal dengannya. Sengaja saya kenalkan sebab saya juga mengenal beberapa temannya di sekolah dulu. Saya sering menginap di kost-nya selama kuliah. Dia memang kost di Palembang. Aslinya dari Sukarame, Talang Ubi, Muara Enim. Sekarang sudah punya rumah sendiri di Gandus. Sudah jadi warga Palembang. Hidup bahagia bersama istri dan anaknya. Walau sekarang dia kerja di Papua sana. Alhamdulillah sampai detik ini kami masih rajin komunikasi.

Dia juga beberapa kali ikut saya pulang. Menginap di rumah. Orang di rumah tahu siapa dia. Sayang sampai hari ini saya belum mengenal kedua orang tuanya kecuali lewat foto.

Saya mengenal dia sebagai pribadi yang baik. Dia sering memotivasi saya untuk terus dekat dengan Allah dan mencintai Al-Qur'an. Di situlah dia sering ngomel-ngomel kalau kakaknya ini malas baca Qur'an dan ibadah. Baca dua isi pesannya untuk saya ini :

"Dinasehati orang lebih paham. Diingatkan selalu orang lebih tua. Dimarah takut kualat."

"Terima kasih, Kak. Semoga ini saya omel omel yang terakhir. Bantulah adikmu ini saling menguatkan dakwah ini 🙏🏿"

Terus terang saya terenyuh sekali waktu dia kirim pesan seperti itu. Aduh... Adik saya satu ini memang yang terbaik. Ingin kakaknya terus jadi orang baik. Prinsip saya dalam bersaudara adalah saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Dan dia benar-benar menerapkan itu. Saya kadang minder sama dia. Kok ya dia lebih baik imannya dibanding saya yang dari dulu gini-gini aja. Bahkan di mata saya dia makin shalih dari hari ke hari. Adakala memang sedang down, tapi dia selalu bisa melawannya. Makanya saya sangat beruntung sekali bisa mengenal dia. Bisa akrab. Bisa menjadi saudaranya.

Makin ke sini dia juga makin bijak. Duh, dibanding saya belum ada apa-apanya. Dari dulu sampai sekarang saya ya begini-begini saja. Tidak banyak berubah. Tanya saja dengan mereka yang mengenal saya.

Maka tidak salah rasanya jika suatu hari ketika saya meninggal kelak dengan membawa bekal saya yang sedikit ini, adikku, saya berharap jika kau tak temukan kakakmu ini di surga, maka cari kakakmu ini di neraka. Kakak butuh syafaatmu. Kakak berharap kau mau lakukan itu untuk kakakmu yang dhaif ini. Berharap keakraban kita ini akan terus berlanjut hingga ke akhirat. Jika pun kau tidak berkenan mencari kakakmu ini di neraka dan menjemputnya ke surga karena kakakmu ini terlalu hina untukmu, setidaknya kau doakan saja kakakmu mendapatkan keringanan atas dosa yang ia lakukan. Kakak sadar diri kok sudah terlalu banyak menyusahkanmu di dunia ini.

Kakak berharap kau terus hidup bahagia bersama keluarga kecilmu. Terus menjadi adik yang setiap saya cerita ke orang-orang adalah adik kebanggaan melebihi adik kandung sendiri. Tetap menjadi adik saya yang baik dan seperti yang kakak kenal. Tetap selalu istiqamah dalam dakwah ini. Kakakmu takkan putus mendoakanmu setiap usai shalat. Namamu akan terus ada di dalam doa kakakmu. Terima kasih telah menjadi inspirasi selama ini. Telah rela berbagi kisah dengan kakakmu yang kadang tulalit kalau diajak cerita. Maaf kalau kakakmu ini tidak seperti yang diharapkan. Tidak menjadi kakak yang baik. Tidak menjadi kakak yang menjaga dan mengayomi adiknya. Tapi setidaknya kakak sudah berusaha kok, walau ujungnya malah sering bikin kecewa adik.

Dik, cari kakak di neraka jika kau tak temukan kakak di surga-Nya Allah.


Pulau Harapan, 18 - 30 April 2020

*Butuh dua minggu untuk akhirnya selesai menulis ini. Berharap ketika menulis ini tidak ada air mata. Ditulis putus-putus, perparagraf. Awalnya berhasil. Tapi endingnya tumpah juga air mata ini.





Minggu, 26 April 2020

Sabarlah, Jodoh Akan Datang pada Waktunya


Sabarlah, Jodoh Akan Datang pada Waktunya
Jaka Ferikusuma



Judul : Ze; Pengantin Koboi
Penulis : Ifa Avianty
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : I (Satu)
Tahun Terbit : Januari 2020
Halaman : 192


Membaca novel karya mbak Ifa Avianty ini seperti berkaca pada diri sendiri. Tentang pencarian jodoh yang tak kunjung datang diusia yang sudah berkepala tiga. Feel-nya dapet banget. Di bab satu bahkan penulis berhasil menuliskan keresahan hati tokoh utamanya mengapa ia belum juga menemukan jodoh sedangkan teman-temannya yang lain sudah beranak pinak. Ia bahkan harus menerima ejekan dari adiknya sendiri.

"Udah galak, belagu, cerewet, tulalit, pelit pula! Pantesan gak ada yang mau sama Teteh. Kang Igi aja ngabur, merit sama cewek lain! Gue sih emang ilfil kalau sama orang model Teteh begini!"
(Hal. 16)

Jlebb banget kan! Padahal tokoh utama tidak muluk-muluk kok kriteria pasangannya. Dasar si jodoh ini saja yang tidak kunjung datang. Ini persis seperti yang dirasakan oleh kebanyakan mereka yang di cap gadis/bujang tua oleh orang sekitar. Sudah ikhtiar kok tapi kalau jodohnya belum nonggol juga, gimana?

Adalah Zerlita alias Ze, perempuan usia 30 tahun yang belum juga ketemu jodohnya sedangkan dua adiknya sudah ngebet pingin nikah. Wanita lulusan UI ini pernah ditinggal menikah oleh sahabat terbaiknya sendiri yang ia harapkan untuk jadi suaminya kelak. Duh, tiba di bagian penulis menceritakan ini ada yang sesak di dada saya. Saya teringat ucapan Rahul di film Kuch-kuch Hota Hai, Cinta adalah persahabatan. Dan itu benar sekali. Ketika ada dua lawan jenis bersahabat sangat dekat, pasti salah satu di antaranya punya perasaan cinta tapi ia pendam demi menjaga keutuhan persahabatan. Dan ini terjadi pada Ze dan Igi, sahabatnya itu.

Ze suka pada Igi dan berharap suatu saat Igi melamarnya jadi istri. Walau mereka kalau ketemu sudah macam Tom dan Jerry tapi mereka dekat sekali. Seperti kembar siam sejak mereka SMA. Orang-orang malah mikirnya mereka berdua cocok. Tapi apalah daya jodoh belum berpihak pada mereka walau Ze sudah berdoa berharap Igi adalah jodohnya sejak pertama kali mereka saling kenal.

" Tuhan, kata-Mu, tak akan ada sebuah doa pun yang Kau tolak, sebab Kau malu pada setiap hamba-Mu yang rajin memohon? Ya Allah, coba, saya tu kurang rajin apa ya? Saya bahkan berdoa biar jodoh sama si Igi sesudah sejak pertama kali dia jadi sahabat saya."
(Hal. 26)

Pada bagian ini juga, walau cuma cerita flashback Ze, kita dapat merasakan kesedihan Ze ketika ditinggal menikah oleh si Igi. Ketika Igi mohon izin menikah pada Ze. Duh.... Saya menangis di bagian ini. Apa yang dialami Ze, seperti itu adalah pengalaman saya juga. Ze tegar sekali saat mengikhlaskan Igi untuk perempuan lain.

"Nggak kok, Gi, bener. Kamu kan udah tahu saya. Takdir kita juga hanya sahabat. Mana boleh saya sedih di atas kebahagiaan kamu? Saya mendukung, Gi, penuh-penuh...."
(Hal. 32)

Tahu apa jawaban Igi untuk pernyataan Ze ini?

"... Saya senang kalau kamu lega. Artinya, saya nggak menyakiti hati kamu."
(Hal. 32)

Masya Allah, dasar lelaki tidak peka. Heran dah kenapa pada bagian ini saya kesal pada diri sendiri sebagai lelaki yang memang kadang tidak peka terhadap perasaan perempuan seakan apa yang dialami oleh perempuan ketika ia bilang mengikhlaskan kita itu artinya ia benar-benar ikhlas. Dodol, perempuan itu pintar sekali menyembunyikan perasaannya. Sadarlah wahai para lelaki. Saya seperti dicubit pada bagian ini.

Ketegaran Ze bukan sekadar hanya di situ, ia justru yang bermain piano di pernikahannya si Igi. Ia bahkan harus mengirigi Igi bernyanyi lagu cinta kenangan mereka sambil menangis di balik grand pianonya. Duh, perih sekali.

Walau bagaimana pun hidup terus berlanjut. Ze tetap menjalani hidupnya dengan tegar. Ya walaupun bayang-bayang Igi tetap datang. Saya suka sekali adegan saat Ze sedang sedih lalu teringat pada Opanya. Menceritakan apa yang terjadi dalam hidupnya pada Opanya seakan-akan Opanya masih hidup. Bahkan Ze percaya pada omongan Opanya yang bilang bahwa ia akan menikah dengan lelaki yang mengajaknya keliling Eropa dan dunia.

Cerita perjuangan Ze menemukan jodoh ini memang sangat mudah sekali ditebak endingnya. Walau begitu, dengan cara bertutur penulis yang ringan dan santai kita akan menikmati setiap cerita yang disajikan. Lalu dengan siapakah Ze akan berjodoh? Apakah Ze bisa sepenuhnya melepaskan bayangan Igi? Apakah perkataan Opa Ze akan menjadi kenyataan? Baca saja novel karya penulis favorit saya ini. Sangat cocok untuk menemani hari kalian di rumah saja di tengah wabah pandemi Covid-19 ini. Ada diskon kalau beli di Shopee.

Saya kasih bintang 4 dari 5 untuk novel yang nenghibur ini. Selamat membaca.


Pulau Punjung, 26 April 2020

Rabu, 15 April 2020

Corona, Lockdown, dan Uang Jajan


Corona, Lockdown, dan Uang Jajan
Jaka Ferikusuma


Saya tergelitik ketika sedang berbalas pesan dengan seorang adik yang pernah KKN di desa kami. Seperti ini isinya :

"Indonesia yang Corona malah duit jajan yang di lockdown😔"

Sebenarnya dampak wabah Covid-19 ini berpengaruh ke semua lapisan masyarakat. Mau yang kaya, miskin, tua, dan muda semua kena imbasnya. Dampak yang ditimbulkan pun bermacam-macam. Salah satunya terkait masalah finansial.

Masih segar dalam ingatan berita orang kaya memborong segala keperluan untuk antisipasi diri pribadi hingga menyebabkan barang menjadi langkah. Belum lagi masker, hand sanitizer, dan APD kini menjadi barang mewah dengan harga selangit. Semua itu tak bisa dihindari. Terjadi begitu saja karena kepanikan melanda negeri.

Tidak hanya di kota sebenarnya. Di desa pun merasakan hal yang sama. Contohnya, petani karet di tempat saya sangat mengeluhkan harga karet yang turun drastis hingga mencapai titik terendah. Bukan apa-apa, ternyata banyak pabrik karet yang menutup pabriknya dikarenakan mewaspadai virus Corona ini. Mereka sudah me-lockdown duluan pabriknya. Ini saja pemerintah belum menerapkan perintah lockdown. Hanya sekadar physical distancing. Apa jadinya jika lockdown benar-benar terjadi. 

Imbas ini bisa terjadi pada siapa saja. Penjual makanan atau buah-buahan banyak yang tutup sementara karena jumlah pengunjung yang mulai sepi. Ada yang mensiasati dengan berjualan daring atau online. Yang kasihan justru orang-orang yang berdagang di pasar. Pembeli sangat sepi sekali. Bahkan dibeberapa desa menutup sementara pasar kalangan setiap pekannya.

Mahasiswa dan pelajar juga kena dampaknya. Selain harus ribet dengan jadwal pelajaran atau kuliah yang serba daring dan tugas menjadi kian menumpuk, mereka juga kehilangan uang jajan seperti yang dikemukakan Virgo, yang pesannya saya tulis di atas. Padahal selama ini selalu dapat uang jajan kalau kuliah tatap muka. Sekarang karena hanya di rumah saja akhirnya uang jajan ikut-ikutan di-lockdown. Masih mending masih ada yang dikasih uang jajan buat beli kuota untuk belajar daring. Ini sudah ada WiFi di rumah. Jadi uang jajan benaran di-lockdown.

Dan saya pun merasakan hal yang sama. Gaji saya pun terancam di-lockdown karena siswa libur terus menerus. Saya guru swasta di sebuah yayasan bukan PNS atau mengajar di sekolah bonafit. Bagaimana denganmu? Apa kamu juga merasakan hal yang sama? Mari kita berdoa mudah-mudahan wabah pandemi Covid-19 ini segera berakhir dan kita bisa hidup normal seperti biasanya. Tentu dengan kehidupan yang lebih baik lagi.


Pulau Punjung, 11-13 April 2020

Kamis, 02 April 2020

Bangga yang Bersisian dengan Kecewa


Bangga yang Bersisian dengan Kecewa
Untuk Syahid Alhakim
Jaka Ferikusuma


Teman saya ada yang bilang, "Jaka, adik kamu ini banyak sekali ya." Benar, dia tidak salah. Adik saya memang banyak sekali. Adik kandung ada dua. Bukan adik kandung tapi rasa adik kandung ada beberapa. Kok ada ya bukan adik kandung tapi rasa adik kandung? Ada. Memang tidak ada ikatan darah di antara saya dengan mereka tapi ikatan emosional yang ada pada kami sangat kuat sekali dan itu bisa mengalahkan ikatan  darah. Sampai sini paham dong. Dan saya mencintai adik-adik saya semuanya.

Sudah hampir sebulan ini saya dekat sekali dengan Syahid Alhakim. Saya sudah menganggap dia seperti adik saya sendiri. Kalau suatu hari ada yang tanya tentang dia ke saya, misal, ini siapa Jaka? Saya tinggal jawab, adik. Adik kandung ya? Saya jawab lagi, Ya. Adik kandung. Dalam hati melanjutkan, tapi beda ayah dan ibu. Kok gak mirip? Memang untuk jadi saudara harus mirip dulu.

Saya bangga sekali dapat mengenalnya. Semakin ke sini rasa bangga itu kian tinggi untuknya. Dia berbeda untuk anak seumurannya. Dia dewasa. Teguh pendirian. Bisa mengambil sikap. Dan yang paling hebat, dia cerdas sekali dalam hal apapun.

Kebanggaan saya bertubi-tubi sekali untuknya. Dia gigih dalam mencapai cita-citanya. Sebagai kakak (saya tidak tahu apa dia mengangap saya kakak atau tidak?) saya sangat mendukung cita-citanya menjadi dokter. Dokter itu cita-cita saya sejak kecil tapi saat SMA langsung saya hempaskan begitu saja. Banyak hal yang membuat saya mundur menjadi dokter, salah satunya soal finansial. Maka begitu tahu dia mahasiswa kedokteran, saya mati-matian memotivasi dia untuk dan harus menjadi dokter. Biar saya makin bangga padanya. Biar cita-cita saya sejak kecil dulu menjadi nyata lewat dia. Itu saja rasanya sudah cukup. Makanya saya suka excited kalau punya teman dokter. Nah, ini dia adik sendiri.

Saya yakin dan percaya suatu hari di masa depan, dia akan gagah sekali dengan jas putih membalut tubuhnya. Orang-orang akan mengeluh-eluhkan namanya. (Saat itu terjadi saya adalah orang paling bangga nomor satu di dunia ini terhadapnya.) Ia akan menolong banyak orang lain dengan kemampuannya. Ia akan menjadi kebanggaan semua orang, terutama ayah dan ibunya. Keberadaannya akan selalu dinanti semua orang. Saya sampai seyakin itu terhadap masa depannya sebab Allah telah memberikan segalanya terhadapnya. Kecerdasan. Potensi. Kemauan. Hanya bagaimana dia memanfaatkan apa yang kini telah Allah anugrahkan untuknya itu sebaik-baiknya. Dan ketika akhirnya saya masuk di kehidupannya pun karena (sepertinya) merupakan rencana Allah untuk mengarahkan dia menuju cita-citanya. Setidaknya sampai saat ini saya masih "membimbing" dia untuk menjadi lebih baik lagi. Semampu saya.

Sebangga itukah saya terhadapnya? Ya. Bangga sekali. Tapi saya sadar sesadar-sadarnya, bahwa bersisian dengan rasa bangga ini pasti akan ada kecewa menanti di ujung sana. Satu hal yang saya selalu waspadai saat semakin hari rasa bangga itu semakin menyeruak. Saya berharap ini tidak terjadi. Pun harus terjadi saya telah menyiapkan hati saya yang lapang dan luas sekali untuk menghadapi ini.

Saya memang belum banyak mengenalnya. Saya tidak tahu dulunya dia seperti apa? Kesehariannya. Saya tidak tahu keluarganya bagaimana? Hanya tahu dia anak bungsu. Dia punya dua kakak. Tahu profesi ayah dan ibunya. Dulu dia lebih banyak hidup bersama kakek dan neneknya. Sekadarnya saja. Hanya nampak luar. Saya akui itu. Pun sebaliknya dia juga sama terhadap saya. Banyak hal yang belum ia ketahui tentang saya. Tapi saya pribadi sudah merasa bahwa kami sangat dekat. Sedekat urat nadi. Kami punya banyak persamaan yang akhirnya kami sama-sama sadar itu. (Sampai di sini saya sudah sulit menahan buliran air mata yang ingin keluar.)

Kami hanya bertukar cerita dan saling nasehat menasehati. Cerita pengalaman. Apa saja kami bahas. Saya yang mengaku dekat ini mungkin tidak lebih mengenal dia dari teman-teman kampusnya dan orang-orang di sekitarnya. Tapi yang saya syukuri, saya tahu sisi "dalam" dia yang orang lain tidak tahu sekalipun itu orang tuanya.

Jika suatu hari tiba-tiba saja kecewa itu menghampiri kisah kami, saya sudah siap dengan segala resikonya. Saya telah menyiapkan hati saya yang luas sekali. Saya menerima dengan lapang jika suatu saat harus dikecewakan olehnya. Yang saya takutkan justru ketika akhirnya dia yang kecewa terhadap saya. Saya melukai hatinya. Saya membuat dia tersinggung. Atau mungkin saya membuat dia malu dan tidak berkenan. Saya takut sekali itu terjadi. Saya takut sekali sebab saya tidak tahu dia akan seperti saya atau tidak yang bisa menerima ketika dikecewakan. Saya lebih baik dikecewakan olehnya daripada harus mengecewakannya. Sampai detik ini selalu itu yang menganggu pikiran saya. Saya tidak ingin dia kecewa terhadap saya. Mudah-mudahan saja ketika dia kecewa terhadap saya, dia mengungkapkan kekecewaannya itu dan saya bisa memperbaiki kesalahan yang saya lakukan terhadapnya. Pun tidak, saya telah siap dengan segalanya. Betapa saya terlalu melankolis dalam hal ini. Sejauh ini, kami selalu saling mengingatkan dan saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Mudah-mudahan begitu terus selamanya sehingga sesuatu yang bernama kecewa ini tidak ada dalam kisah kami. Pun ada tidak merusak ikatan yang sudah terjalin dan terbina.

Saya susah siap jika suatu saat tiba-tiba dia lupa pada saya. Dia tidak ingat lagi pada saya. Maka saya sudah siap untuk segala itu. Sebab kita tidak tahu apa yang terjadi di masa hadapan.

Jika ketika dia sudah menjadi dokter yang sukses, lalu dia tidak lagi mengenang kisah kami, dia sudah bertemu orang-orang hebat dan meninggalkan saya, melupakan mimpi-mimpi kami, maka saya akan merelakan itu terjadi. Saya tidak akan pernah menyesali apa yang sudah menjadi keputusan saya. Saya tidak akan menyesal mengaggap dia adik saya karena selamanya akan begitu. Saya sudah siap menanggung semuanya.
Jika suatu waktu dia menemukan orang yang lebih baik dari saya, menemukan orang yang bisa dia ajak bercengkerama dan ia melupakan saya, menganggap saya biasa saja, saya tetap harus menerima ini semua. Saya tidak akan pernah merasa bahwa kecewa ini membunuh dan mengubah rasa saya terhadapnya. Dia tetap adikku yang baik. Adikku yang manis yang pernah saya kenal. Saya akan tetap mencintainya dengan imanku seperti yang pernah saya tuliskan.

Jika suatu hari akhirnya dia tidak lagi menganggap saya ada. Dia telah sibuk dengan dunianya. Dia telah sibuk dengan urusannya. Saya akan ikhlas. Saya tidak akan pernah putus melangitkan doa-doa terbaik untuknya sampai kapanpun. Saya akan terus mendoakan dia dari jauh. Karena saya yakin, dia masih membutuhkan doa saya untuk kesuksesannya di masa depan.
Saya tidak peduli dianggap bodoh oleh orang sekitar karena sudah terlalu baik terhadapnya. Saya akan terus membelanya sekalipun ia salah. Sekalipun ia telah melupakan saya. Saya akan ada di garda terdepan ketika semua orang mengucilkannya. Menjauhinya. 

Jika itu semua harus terjadi saya masih tetap menganggap dia adik saya. Saya tidak akan pernah menyesali semua yang menjadi keputusan saya. Saya akan tetap bangga padanya. Berlipat-lipat walau akhirnya saya hanya bisa menatap dia dari kejauhan. Itu sudah cukup.

Saya tidak peduli jika akhirnya dia mengecewakan saya. Saya pendam itu rapat-rapat. Saya akan selalu membuat dia bahagia tanpa harus dia tahu bahwa saya sebenarnya kecewa. Saya bisa menata hati saya untuk rasa kecewa yang mendera. Betapa saya sangat menghargai setiap detik dan setiap jengkal kisah kami ini.

Syahid, adikku, untuk segala kisah yang belum seberapa ini, betapa kau telah merengut separuh perhatian di hidup kakakmu ini. Sanggup membuat kakakmu untuk terus belajar menjadi lebih baik lagi. Betapa akhirnya kau mampu membuat kakakmu ini menghidupkan kembali semangat yang sempat hilang. Karenamu kakakmu ini banyak sekali belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Betapa kau adalah sumber inspirasi yang membuat kakakmu ini untuk terus menebar kebaikan. Terima kasih untuk kisah ini dan kisah-kisah yang terus akan kita torehkan di masa depan. Bangga bisa mengenalmu serapat ini. Mudah-mudahan persaudaraan kita hingga ke surganya Allah. Aamiin....

Sejak bertemu denganmu
Lihatlah aku telah menjadi mampu
Sejak bertemu denganmu
Telah kudapatkan segalanya
Meskipun sulit tujuan hidupku menjadi mudah
Karena kamu adalah detak dan aku jantungnya.

(Terjemah lirik lagu Tu Jo Mila Ost. Bajrangi Bhaijaan)

Pulau Harapan, 25 - 30 Maret 2020

*Ditulis dengan linangan air mata. Diedit dengan derai air mata. Betapa saya lemah sekali saat menulis kisah ini.