Sabtu, 09 Juli 2022

Short Trip Pagar Alam Vol. 3

Short Trip Pagar Alam Vol. 3

Di Mana Puncak Dempo?



Setelah puas main mandi di Curup Tuju Kenangan, perjalanan lanjut ke Tugu Rimau. Tugu Rimau terletak di ketinggian 1900 mdpl. Baru sebentar perjalanan mulai deh gerimis. Cuaca di sini benar-benar tidak menentu. Yang jelas hari itu matahari cuma menghangatkan di pagi hari. Sisanya mendung sepanjang hari.

Mobil melaju dengan stabil. Stabil banget malah. Saya langsung excited begitu melihat kebun teh yang luas milik PTPN. Kami sudah sampai di kaki gunung Dempo. Dan dari sini seharusnya kami sudah bisa melihat puncak Dempo. Sayang sekali, sungguh sayang, sekitar kami berkabut. Kabut tebal menyelimuti daerah kebun teh. Untungnya jarak pandang masih terlihat. Jadi ya, perjalanan kami ini masih cukup menyenangkan.

Dan tentu saja perjalan ke Tugu Rimau tidak akan lurus-lurus saja, selalu ada tikungan yang curam yang bisa dipastikan setiap menikung saya akan cemas dan panik. Dalam hati selalu berdzikir. Dzikirnya campur aduk, dzikir karena tanjakan, panik, sekaligus karena bersyukur bisa ke sini melihat keindahan kebun teh, dan tentu saja terpesona. Sungguh, Maha sekali Allah dengan segala penciptaan-Nya.

Hamparan kebun teh di kaki Dempo

Di setiap tikungan paling tajam Fatu pasti ngidupin klakson. Saya harus bersiap-siap kalau tidak mau ikutan latah, ya, walaupun masih latah juga karena menikung. Wajah cemas tak bisa dipungkiri, mulut komat-kamit beristighfar. Dan, saya itu suka mabuk perjalanan, apalagi jalan berliku-liku begini, firasat saya, pasti muntah nih. Ternyata.... No. Tidak. Sama sekali saya tidak mabuk perjalanan. Mantap. Saya sampai mau standing ovation untuk diri saya sendiri. Apa karena perjalanannya menyenangkan ya?

Fatu memarkirkan mobil di pinggir jalan persis di depan gerbang Pondok Akhlak atau yang dikenal juga dengan sebutan Bukit Teletubbies. Kita berfoto-foto di sana. Kita tidak ke pondoknya hanya berfoto di jalan yang sesekali motor dan mobil lewat. Mencari view yang cantik. Padahal di sana view-nya cakep semua. Dari arah mana saja pemandangan indah memesona. Sejauh mata memandang panorama hijau kebun teh. Sejuk amat dah pemandangan.


Saya pinginnya ke pondok di Bukit Akhlak itu, view di sono pasti lebih keren. Namun sudah ada orang yang duduk-duduk di sana. Kita juga udah dikejar waktu, karena tujuan utama kita ke Tugu Rimau. Maka saya membesarkan hati sendiri dengan bilang, nanti pasti kamu balik lagi ke sana, Jaka. Puas-puasin deh di Bukit Akhlak. Tentu dengan cuaca yang bersahabat.

Mobil kembali melaju, kami melewati jalanan curam nan berliku lagi. Kami melewati kampung Dua. Pemukiman warga di kaki gunung ini memang dinamakan dengan angka. Ada empat Kampung di kaki gunung ini. Kampung 1, 2, 3, dan 4. Sekadar info, kampung 4 merupakan salah satu jalur pendakian bagi yang mau muncak ke Dempo. Itu jalur favorit para pendaki. Jalur di sana lebih bagus treknya dibanding jalur Jarai ataupun Tugu Rimau yang menjadi destinasi kami kali ini. Ya, Tugu Rimau juga menjadi jalur pendakian bagi para pendaki. Di sana titik awal pendakian. Saat kami datang pun ada beberapa pendaki yang duduk-duduk di sana dengan carier mereka yang penuh. Biasanya jalur Tugu Rimau dilewati pendaki ketika turun dari puncak. Jadi naiknya dari kampung 4, turunnya dari jalur Tugu Rimau.

Depan Tugu Rimau yang termasyhur

Tiba di Tugu Rimau, hujan lebat. Tiba-tiba kepikiran para pendaki. Kasihan sekali mereka yang memutuskan untuk mendaki hari ini. Apalagi yang sudah diperjalanan atau telah sampai di pelataran. Duh, pasti kedinginan banget. Benar-benar deh cuaca di sini tidak menentu. Di bawah tidak hujan, paling sesekali gerimis. Sedang di atas sini lebat sekali hujannya. Kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu sekadar mengelabui perut yang kosong. Saya, Fatu, Oji, dan Mang Lek memesan mie rebus plus telur. Sementara Mutia dan Tari memesan pop mie, juga Adit namun dengan tambahan nasi soto. Dan jangan kaget jika harga makanan di sini cukup mahal. Jelas mahal dong, lah naik ke atas sini saja butuh perjuangan. 

Hujan masih belum reda, kita memutuskan untuk shalat dulu di musholah. Saya sempat berbisik ke Mang Lek, ini loh musholah tempat Hilya dan Fathan shalat di novel Miquelli karya mbak Yana alias Azzura Dayana. Beliau sok-sokan mau foto di sana juga. Yang lain cengo ketika kami membicarakan soal Miquelli yang setting tempatnya kebanyakan di Dempo. Itu novel favorit Mang Lek. Dia jatuh cinta sama novel dengan tema pendakian itu. Kebetulan Tugu Rimau menjadi salah satu setting ketika Hilya dan rombongan turun muncak. Dan saya sempat berpikir ketika Hilya dan Fathan makan di sana, mereka mengambil tempat yang sama dengan tempat kami makan mie rebus saat itu. Hehe....

Ketika usai shalat, tiba-tiba hujan reda. Ini kayaknya ada yang berdoa saat shalat biar hujannya reda agar bisa berfoto. Walaupun hujan reda, langit tetap mendung dan kabut tidak hilang. Kami lalu mengeksplor sekitar Tugu Rimau. Mencari spot yang terbaik untuk foto. Kami menuju ke perkebunan teh mencoba mendapatkan tulisan Pagar Alam yang terpampang besar di sana. Juga berfoto depan Tugu Rimau yang iconic. Saya iseng sempat-sempatnya berfoto di 'bulan sabit'. Harusnya ya, harusnya puncak Dempo kelihatan dari sini. Harusnya puncak Dempo menjadi latar setiap foto kami. Sayang sekali puncaknya tidak terlihat sama sekali karena tertutup kabut yang tebal. Di mana Puncak Dempo?

Tim Pagar Alam. Latar di belakang foto kabut menyelimuti.

Kalau dipikir ulang sepertinya saya harus kembali ke sana. Kenapa? Untuk melihat puncak Dempo yang hari itu tertutup kabutlah. Selain itu saya juga merasa harus balik lagi ke sana dengan alasan lain yaitu saya lupa memesan jagung bakar. Alasan yang aneh. Tapi benar. Saya sempat bilang ke diri sendiri, saya harus beli jagung bakar sekalipun harganya mahal ketika usai makan mie. Keinginan itu juga saya utarakan ke Mang Lek dan Oji. Namun karena keasyikan berfoto jadi lupa mau pesan jagung bakar.

Puas berfoto saatnya turun. Begitu turun, kabut sedikit menghilang, tidak sebanyak saat tadi kami naik. Tidak ada yang harus disesali. Toh, puncak Dempo tetap tidak terlihat. Mobil terus melaju. Saya tidak tahu mobil ini akan menuju ke mana. Tahunya ke pusat oleh-oleh karena Adit mau membeli oleh-oleh. Pas parkir baru "ngeh" ternyata kami ke Tangga 2001. Jadi beli oleh-olehnya di sini toh. Karena nasib belum berpihak pada kami, toko-toko yang jual oleh-oleh tutup semua. Karena sudah kadung berada di sana, saya, Mutia, dan Tari berfoto-foto sebentar sementara yang lain menunggu di mobil. Mumpung di sini ya kan, kapan lagi bisa berfoto. Ternyata kabut masih tebal di atas sana. Harusnya dari sini kita bisa melihat gunung Dempo yang tinggi menjulang dan menjadi latar foto kami. Namun apa daya kabut masih menyelimuti. Duh, di mana Puncak Dempo?

Menuruni Tangga 2001

Kalian tahu mengapa lokasi ini disebut Tangga 2001? Disebut Tangga 2001 karena 2001 adalah tahun lahir kota Pagar Alam. Kota Pagar Alam diresmikan pada tahun 2001 oleh pemerintah dengan memisahkan diri dari kabupaten Lahat. Dan katanya jumlah anak tangga di sini berjumlah 2001 sesuai sebutannya. Ada yang bilang tidak sampai 2001 tapi tetap disebut demikian karena mengacu pada tahun lahir tadi.

Perjalanan pun akhirnya dilanjutkan. Kita menuju tempat oleh-oleh yang lain. Tidak jauh dari gerbang kawasan wisata Dempo, ada toko oleh-oleh. Kami memutuskan mampir di sana. Aneka ragam oleh-oleh khas Pagar Alam dijual di sana mulai dari snack, baju, kerajinan tangan, dan tentu saja  kopi dan teh khas Pagar Alam.

Kami semua membeli oleh-oleh. Tentu kopi dan teh jadi idola kecuali saya. Saya justru tidak membeli kopi atau teh tapi membeli bandrek. Tertarik membeli bandrek setelah baca komposisinya. Kayaknya enak dan pas racikan bandreknya. Pasti menghangatkan kalau diminum di kala hujan. Sebenarnya saya mau beli baju yang ada tulisan Pagar Alam-nya. Namun niat tersebut saya batalkan karena ada hal lain yang harus diprioritaskan. Baiklah, saya menghela napas dan mengatakan kepada diri sendiri, oke Jaka, nanti kamu kan mau balik lagi ke sini, lain kali saja kamu beli bajunya saat kembali lagi ke sini. Begitulah cara saya menghibur diri sendiri.

Depan toko oleh-oleh

Ternyata saya yang paling sedikit beli di antara yang lain. Saya hanya beli bandrek dan kerupuk kopi. Soal kerupuk kopi ini, kerupuknya enak banget. Sumpah. Pengen beli lagi deh. Agak nyesel sih beli satu. Itupun saya beli untuk dimakan sama-sama di mobil bukan dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Oleh-olehnya cukup bandrek saja. 

Usai belanja kita lanjut isi solar di SPBU. Sempat mampir di Indomaret sebentar. Lalu saatnya pulang ke kampung halaman tercinta. Pulangnya jalanan lancar jaya tiada hambatan. Berhenti kembali di Muara Enim untuk makan malam. Menunya kompak lagi, nasi goreng. Dari Muara Enim ke Prabumulih saya memutuskan untuk tidur. Entahlah, pengen aja gitu. Pokoknya nanti begitu sampai Prabumulih harus terbangun.  Karena memang sudah diniatkan untuk tidur, saya pulas banget tidurnya. Dan beneran saat saya terbangun kami sudah ada di jalan lingkar Prabumulih. Seperti sudah diatur begitu. Bener deh kalau sudah niat pasti ada saja jalannya.

Tak lama, tiba-tiba perut saya mules pengen BAB. Ampun deh, ini perut macam tidak bisa diajak kompromi. Saya coba tahan saja. Di jalan lingkar ini mana ada WC umum. Rumah warga saja tidak ada. Sepi. Berhasil sih. Tiba-tiba mulesnya hilang. Saya merasa aman. Namun, tiba-tiba si mules datang lagi. Tahan lagi dong. Namun kali ini saya capek menahan mules. Maka saya utarakan ke Fatu selaku pengendali mobil, cari masjid untuk berhenti, saya mau ke WC. Dan akhirnya kami mampir di masjid yang ada di Prabumulih.

Aman. Perjalanan dilanjutkan. Saya menikmati keindahan kota Prabumulih saat tengah malam. Kota ini sangat memorable bagi saya. Ada keluarga kedua saya di sini. Ada banyak saudara saya di sini. Saya suka kota ini. Di Gelumbang kita berhenti sebentar. Fatu mau menemui seorang 'dulurnya' di sana. Hanya dia yang turun mampir. Kita semua menunggu di mobil.

Tiba di Palembang, saat telah memasuki jalanan Musi Dua, kembali perut saya bertingkah. Nih perut kenapa tidak bisa diajak kompromi? Dengan berat hati saya bilang ke Fatu kembali, berhentikan mobil ini saya mau BAB lagi. Maka mobil berhenti di kios dekat Grand City.

Setelah dari kios, giliran Tari yang membawa mobil. Jalanan nampak lenggang malam itu. Ketika masuk daerah Musi Pait, kami disambut kabut yang lumayan agak tebal. Dalam hati saya berkata, tidak di Pagar Alam tidak di sini sama-sama berkabut. Sepertinya kabut menjadi teman kami saat itu. Akhirnya kami sampai ke rumah dengan selamat sentosa pada dini hari yang buta. Tinggal capeknya ini. Tapi itu urusan besok saja. Dan kisah perjalan ke Pagar Alam menyisakan cerita yang cukup berkesan di hati.

Pulau Punjung, 25 Juni 2022. 02.02

Catatan :

• Saya tidak ganti baju sejak dari berangkat sampai ke pulang. Haha.... Saya memakai baju itu-itu saja. Celana saya ganti dengan sarung. Itu karena celananya basah sebab saya pakai mandi di Curup Tuju Kenangan.

• Terima kasih tak terhingga untuk rekan saya di Divisi Karya FLP Sumsel, Ica dan keluarga yang sudah mengizinkan kami untuk menginap di pesantrennya. Ini sangat membantu sekali.

• Terima kasih untuk teman-teman perjalanan kali ini. Fatu, sang supir keren, Mang Lek, Oji, Adit, Tari, dan Mutia. Rencana dadakan ini jadi juga. Persiapan dua hari. Nego sana sini. Akhirnya datang juga ke Pagar Alam.