Sabtu, 28 Mei 2022

Short Trip in Pagar Alam Vol. 1

 Drama-drama Perjalanan 



Usai shalat subuh saya baru packing barang. Perlengkapan saya tidak banyak. Hanya bawa jaket, sarung dan dalaman, juga odol, sikat gigi, minyak wangi, dan krim pegal-pegal. Di Pagar Alam itu dingin sekali. Jadi pasti butuh penghangat. Penghangatnya ya krim pegal-pegal itu. Jam 6.30 saya berangkat dari rumah. Bukan langsung ke Pagar Alam bersama rombongan. Tidak. Saya ke sekolah dulu. Sekolah tempat saya mengajar mengadakan karya wisata. Jadi ceritanya nanti saya tinggal menunggu rombongan ke Pagar Alam di Palembang saja. Janjinya jam satu. Dan saya menunggu di OPI Mall.


Jam satu menunggu. Nyatanya jam 2 lewat mereka baru sampai. Kami berangkat ke Pagar Alam bertujuh. 5 laki-laki dan 2 perempuan. Fatu, Adit, Oji, Relly, Mutia, Tari, dan tentu saja saya sendiri. Menggunakan mobil dengan sopir yang sangat keren (nanti ada volume sendiri tentang sopir keren ini). Dan drama perjalanan pun dimulai.



Di mobil tentu saja kita sibuk bercerita, bercanda, ngemil, berfoto, dan bikin video. Saya banyakan paniknya. Apalagi kalau sopirnya ngebut, ya sudah, latahnya keluar. Kaget bener saya. 


Tiba di Prabumulih saya lupa kalau jalan yang biasa dilewati ditutup karena ada pembangunan flyover. Jadi jalan dialihkan ke jalan lingkar. Di sini juga dikabarin bahwa tempat yang jadi tujuan kita untuk menginap sebentar di Pagar Alam tak bisa dikunjungi. Temen Adit ada kerjaan. Saya mutar otak, berusaha menghubungi teman saya yang ada di Pagar Alam. Kepikiran nama Ica, kamerat saya di FLP. Alhamdulillah dia bersedia menampung kita di pesantrennya. Saya sebenarnya kasihan sama Mutia dan Tari. Kalau seandainya secowokan doang, kita mah tidur dimana saja oke.


Sampai Muara Enim berhenti sebentar untuk makan malam yang kemalaman. Kena prank betul, karena makannya kemahalan. Padahal kita harus hemat. Saya, mang Lek dan Mutia sampe saling tatap karena kaget dengan harga. Haha....


Perjalanan dilanjutkan. Selama perjalanan saya tidak mengantuk sama sekali. Menikmati perjalanan betul. Lepas dari kota Lahat, masuk ke Pulau Pinang, jalan mulai berkelok. Kecamatan Pulau Pinang, Lahat, ini terkenal dengan banyak air terjunnya. Saya sempat beberapa kali ke sini mengunjungi air terjunnya. Kecamatan ini juga berbatasan langsung dengan Pagar Alam. 


Fatu mengendalikan mobil dengan ngebut. Jalanan malam sepi. Biar jalannya berkelok manja, dia tetap stabil mengendarainya. Dan malam itu tanpa sengaja kami menabrak ular yang melintang di jalan raya. Awalnya kami mengira itu kayu. Serius! Sebab Fatu sempat nanya sebelum akhirnya memutuskan melimpis "kayu" itu. Setelah dekat baru sadar kalau itu bukan kayu. Mau ngelak tak terelakkan lagi. Benar-benar melintang mengisi separuh jalan. Kita semua kaget dan saya langsung istighfar.


Tak lama dari sana, ban mobil kami bocor halus. Tepat di depan jalan masuk ke air terjun Bidadari di desa Karang Dalam. Berhenti sebentar. Terpaksa ganti ban. Karena saya sangat tidak paham dengan hal ini, dalam hati hanya bisa bantu doa. Cuma lihat-lihat doang. Sedang sibuk mengganti ban, eh, si dongkrak tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Lalu Oji dan Mang Lek melambai-lambaikan tangan meminta bantuan ke mobil yang lewat. Ada yang berhenti, lalu bilang tidak bisa bantu. Alhamdulillah, ada mobil pick up yang berhenti. Meminjamkan dongkrak untuk kita.  Terima kasih untuk dua orang baik yang sudah membantu kita malam itu. Bahkan mereka ikut membantu tidak seperti saya yang cuma bisa melihat doang karena nggak ngerti. Daripada sok-sok bantu tapi malah merepotkan.




Setelah beres, perjalanan dilanjutkan. Saya tidak enak sama Ica nih. Harusnya kita jam sebelasan sudah sampai karena musibah ini jadi molor. Namun saya berusaha tenang. Mobil kita terus melaju tanpa hambatan. Tiba di tingkungan fenomenal Endikat saya merasa bahagia sampai bertepuk tangan, akhirnya saya merasakan melewati tikungan itu. Dan itu juga menandakan bahwa kita sampai di kota perjuangan, Pagar Alam. 


Menurut Ica, dari Endikat ke Pesantrennya itu masih setengah jam lagi. Perjalanan tengah malam itu pun tak menghambat penglihatan saya ke sekitar. Di perbatasan ini, rumah penduduk masih terawat keasliannya. Masih khas Pagar Alam, rumah panggung dengan atap seperti rumah Minang, lancip di ujungnya. Keren. Tidak tergerus zaman.


Tiba di Pesantren Ica, Alhamdulillah disambut dengan baik, ya, walaupun harus membangunkan tuan rumah tengah malam.  Setelah mengantar dua teman cewek kami ke asrama putri, giliran kami yang akan beristirahat. Alhamdulillah, saya bisa tidur nyenyak. Lumayan untuk persiapan besok menuju wisata Pagar Alam.




Pulau Punjung, 28-29 Mei 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar