Sabtu, 22 Agustus 2020

Tilik ; The Power of Emak-emak


Tilik ; The Power of Emak-emak

(Review Film)


Saya dua kali menonton film Tilik yang diunggah oleh Ravacana Film, rumah produksi yang membuat film ini di akun YouTube mereka. Sengaja. Nonton pertama untuk menikmati film. Nonton kedua buat bikin review ini.

Secara keseluruhan saya menyukai film pendek yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo ini. Suka sekali. Film ini sangat bagus. Idenya brilian. Dekat dengan kehidupan sehari-hari terutama di desa. Karakter emak-emak dalam film ini nyata dan ada di hampir setiap desa.

Adalah Bu Tejo dan rombongan ibu-ibu desa punya niat ingin membesuk Bu Lurah yang sedang sakit di rumah sakit di kota. Mereka pergi naik truk yang disopiri oleh Gotrek. Bayangkan bak truk di belakang itu disesaki oleh ibu-ibu sebanyak 25 orang. Tahu sendiri kan apa yang dilakukan ibu-ibu kalau sedang berkumpul seperti itu? Apalagi kalau bukan ghibah. Segala apa diomongin.

Yang spesial dari film pendek ini adalah para ibu-ibu itu selalu membahas satu nama yaitu Dian. Apapun bahasan mereka nama Dian selalu disebut. Siapa sebenarnya sosok Dian ini dan apa yang melatarinya hingga menjadi bahan gosip Bu Tejo dan kawan-kawan selama di truk bisa kita temui jawabannya di akhir film.

Film ini sangat unik menurut saya, mengangkat sebuah tradisi di desa di daerah Yogyakarta; tilik. Tilik dalam bahasa Jawa artinya menjenguk. Tradisi ini ternyata memang ada di desa daerah Jogja sana. Jika ada orang yang sakit maka ramai-ramai orang yang akan bertandang ke rumah sakit untuk membesuk. Terlebih di sini yang sakit adalah Bu Lurah, orang nomor satu di desa.


Alasan mereka menggunakan truk berangkat ke kota pun dijelaskan dari percakapan Bu Tejo dan Yu Ning, bahwa mereka berangkat mendadak karena Bu Lurah tiba-tiba pingsan dan masuk rumah sakit. Karena rasa empati yang tinggi mereka langsung berkunjung esok harinya. Ya, walaupun mereka harus berdiri di sepanjang jalan di dalam bak truk, merunduk jika ada polisi, itupun setelah dikode oleh Gotrek dengan menggunakan klakson.

Dari segi cerita, film ini sangat menarik sekali. Kita sebagai penonton memang harus jeli terhadap jalan cerita. Harus fokus dengan percakapan-percakapan yang terjadi. Sebab kalau kita fokus kita akan menemukan kesinambungan cerita di awal dan di akhir. Kita akhirnya tahu mengapa Dian menjadi bahan gosip di desanya? Kita juga dapat mengambil kesimpulan mengapa Bu Lurah tiba-tiba pingsan dan dilarikan ke rumah sakit dan justru Dianlah yang menolongnya? Itulah mengapa kita harus fokus saat menonton film ini. Sebab ini film pendek. Jadi cerita yang akan disampaikan memang dipadatkan. Berbeda jika ini adalah film bioskop. Tapi walau padat, film ini tetap menghibur. 

Film ini memang menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa sebagai dialog antar tokoh, karena memang setting film ini di Yogyakarta. Dan penggunaan bahasa Jawa dalam film ini bisa menjadi keunggulan sekaligus kelemahan dalam film. Disebut keunggulan karena film ini mengenalkan bahasa daerah ke khalayak ramai, selain memang kita akan mendapatkan kekhasan daerahnya lewat bahasa. Saya merasakan itu soalnya. Saya merasa film ini sangat hidup dengan bahasa daerah yang digunakan. Saya tidak tahu apakah film ini akan tetap seru dan menarik atau malah sebaliknya jikalau seandainya menggunakan bahasa Indonesia tapi dengan dialek Jawa. Saya rasa akan kurang dapat nuansanya.  

Tapi hal ini sekaligus bisa menjadi kelemahan karena banyak juga orang yang tidak mengerti bahasa Jawa. Memang ada subtitle bahasa Indonesianya biar kita tetap dapat menikmati jalan cerita. Tapi ada sebagian orang yang merasa terganggu karena harus fokus ke gambar dan subtitle di bawahnya. Istilahnya merusak momen.

Kalau saya sih aman-aman saja. Sudah terbiasa menonton yang seperti ini. Lah nonton film Hollywood saja saya juga seperti ini. Hanya memang sepertinya jika mengerti bahasa Jawa yang digunakan akan sangat menikmati sekali filmnya. Lebih dapat feel-nya.

Di film ini ada sosok Bu Lurah yang akan dijenguk oleh ibu-ibu. Lurah itu sejatinya adalah seorang PNS yang diangkat oleh Bupati untuk memimpin kelurahan. Tapi ada adegan di depan masjid, saat Bu Tejo memberikan amplop ke Gotrek, Yu Ning bilang, kalau suami Bu Tejo mau mencalonkan diri sebagai Lurah. Padahal kan menurut undang-undang Lurah tidak dipilih oleh masyarakatnya. Yang dipilih oleh masyarakat itu kepala desa alias Kades.

Menariknya di sini, film ini benar-benar mencerminkan kehidupan orang-orang desa yang kebanyakan menyebut Kades itu sebagai Lurah. Lurah itu adalah Kades, sami mawon. Bener toh? Ini sepele sih tapi kalau jeli bisa jadi kelemahan film bagi yang tidak tahu.

Dalam film ini sang sutradara juga pintar sekali menghadirkan karakter yang mewakili ibu-ibu desa. Karakternya unik-unik dan benar-benar hidup. Ada Bu Tejo dengan mulut anti azabnya. Dia bicara seakan apa yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran. Dialah biang kerok dalam film ini. Walau begitu dia tetap solutif. Dan memang terbukti. Bisa dilihat ketika dia mau kencing, akhirnya truk yang mereka tumpangi berhenti di masjid. Ternyata bukan hanya dia saja yang akhirnya turun, ibu-ibu yang lain juga ikut turun untuk kencing dan melakukan aktivitas kecil lainnya.


Selain itu dia juga yang memprovokasi ibu-ibu lainnya ketika truk mereka ditilang polisi. Dan terakhir, saat mereka tidak bisa membesuk Bu Lurah sebab Bu Lurah masih dirawat di ICU. Oleh karena kadung sudah di kota Bu Tejo mengusulkan untuk ke Pasar Beringharjo saja. Di adegan terakhir ini pula Bu Tejo bilang kalau dirinya solutif kepada Yu Ning.

Berbeda dengan Bu Tejo, Yu Ning adalah karakter yang tenang. Ia tak terprovokasi dengan cerita Bu Tejo yang menjelek-jelekkan Dian. Dia selalu membela Dian dengan mengatakan bahwa semua itu belum tentu jelas kebenarannya. Yu Ning mewakili ibu-ibu yang selalu positif thinking terhadap gosip yang menyebar. Yu Ning menjadi penengah dari semua karakter ibu-ibu yang ada.

Ada juga Yu Sam, dia adalah tipikal ibu-ibu yang ingin tahu segala hal yang ada di sekitarnya. Dialah orang pertama yang menanyakan perihal Dian ke Bu Tejo, lalu sepakat dengan cerita yang dituturkan Bu Tejo dengan bukti-bukti yang ada di Facebook. Tapi kadang dia juga sepakat dengan pembelaan yang dilontarkan Yu Ning untuk Dian. 

Selain tiga karakter di atas, ada Bu Tri, karakter ibu-ibu kompor. Bu Tri pintar sekali ngomporin Bu Tejo untuk ngomongin Dian, padahal tanpa dikomporin pun Bu Tejo sudah merepet kemana-mana.

Empat karakter di atas sangat berkaitan dan sering kita temui jika kita peka dengan kehidupan ibu-ibu di sekitar kita terutama di desa. Saya sering menemukan itu, apalagi saya memang bergabung di Tim PKK desa saya. Jadi saya tahu persis karakter-karakter di atas nyata adanya. Tipikal ibu-ibu desa banget deh.

Soal akting tak perlu diragukan lagi. Para pemainnya sangat menjiwai peran yang dimainkan terutama pemeran Bu Tejo, yang diperankan oleh Siti Fauziah. Akting Siti Fauziah berhasil sekali. Semua penonton rata-rata sangat gemas terhadap aktingnya. Dialah yang membuat film ini akhirnya trending di Twitter beberapa hari lalu.  Fotonya saja berseliweran di media sosial dengan meme yang lucu-lucu.

Padahal rupanya film ini adalah film lama. Diproduksi tahun 2018, dua tahun lalu. Film ini baru menemukan penontonnya di tahun ini. Bayangkan 4 hari diunggah di kanal YouTube Ravacana Film, sudah ditonton 5 juta penonton lebih. Fantastis sekali.

Saya sangat menyarankan agar teman-teman menonton film ini di akun YouTube resminya ya, Ravacana Film.  Kita dukung konten-konten terbaik anak negeri dengan menonton di akun resminya, biar berkah, bukan di akun re-upload yang tidak bertanggung jawab.

Film berdurasi kurang lebih 34 menit ini menyimpan pesan yang sangat kuat sekali tentang menyaring informasi yang diterima agar tidak menjadi fitnah dan hoax, terutama berita yang di dapat di media sosial. Kita juga jangan mudah terprovokasi dengan berita yang belum tentu terbukti kebenarannya. Intinya pintar-pintar memilih dan menyampaikan berita yang di dapat.

Akhirnya mengapa film ini menjadi viral dan banyak disukai orang-orang oleh karena film ini sangat related dengan kehidupan sehari-hari. Sosok dan karakter ibu-ibu yang ada di film ini sangat dekat dengan kehidupan. Pokoknya film ini mewakili sekali secuil kisah kehidupan di desa di antara banyaknya kisah yang ada.

Saya beri nilai 4,8 dari 5 untuk film ini. Tidak salah kalau film ini menerima penghargaan sebagai Film Pendek Terpilih Piala Maya 2018. Kamu penasaran? Langsung tonton saja. Dijamin pasti terhibur oleh tingkah Bu Tejo dan kawan-kawan.


Pulau Harapan, 22 Agustus 2020