Selasa, 10 November 2020

Jatuh dari Rumah Panggung





Saat usia tujuh tahunan, saya sudah punya gank. Terdiri dari tiga orang. Dua perempuan dan saya sendiri laki-laki. Saya yang paling bungsu di antara dua teman saya itu. Dua teman saya itu tetangga kiri kanan rumah. Yang satu namanya Aryani, yang lebih akrab kami panggil Mak Wok, dia yang paling tua di antara kami, dua tahun di atas saya. Satunya lagi namanya Deli Sutrisna, dan sering dipanggil Dis. Tapi di sekolah dia tetap dipanggil Deli. Usianya setahun di atas saya. Tahu apa nama gank kami? ABC. Kayak merek kecap dan baterai. Haha.... 


Tapi namanya kanak-kanak, pasti bikin nama gank yang unik. Mana tahu kalau ternyata itu merek kecap dan baterai. Inspirasi nama gank itu sebenarnya sederhana. Dulu tiap pekan pasti ada lomba cerdas cermat di TVRI. Itu merupakan tontonan favorit kami bertiga. Lomba cerdas cermat kan ada tiga kelompok yang bertanding yakni kelompok A, B, dan C. Nah, nama gank kami terciptanya dari sana. Karena tiap nonton itu, secara otomatis Aryani akan mendukung kelompok A, Deli akan mendukung kelompok B, dan saya mendukung kelompok C. Mengapa begitu? Semua di susun berdasarkan urutan umur. Yang paling tua A. Yang tua kedua B dan yang paling muda C. Sederhana sekali.


Kami kemana-mana selalu bertiga kecuali sekolah. Saya dan Deli satu sekolah walau Deli jadi adik kelas saya. Saya bingung kenapa bisa begitu waktu dulu. Kalau tidak salah, harusnya satu angkatan, tapi karena Deli sering sakit waktu itu jadi dia telat masuk sekolah. Sedang Aryani beda sekolah dengan kami. Tapi akhirnya dia jadi adik kelas saya juga karena terlalu di sayang guru alias dua tahun tidak naik kelas karena kesulitan di pelajaran matematika.


Kalau sudah pulang sekolah bisa dipastikan kami bertiga akan main bersama. Mainnya bisa di mana saja. Namanya anak desa mainnya pasti kotor-kotor. Kami sering main di hutan. Mencari jambu hutan, atau sekadar santai di atas pohon karet sambil berkisah masa depan. Main pondok-pondokan di belakang rumah yang juga kala itu masih semak hutan. Atau mandi di sungai belakang rumah. Mancing. Bekarang. Atau iseng mencuri timun di kebun tetangga. Haha....


Masa itu hidup nyantai banget. Kayak tidak ada beban. Main saja terus. Jika sedang malas main ke hutan atau sungai maka mainnya di sekitaran rumah. Yang bikin saya agak malas, pasti akan main versi perempuan. Main masak-masakan. Main boneka-bonekaan yang kami buat dari sarung. Dulu mana bisa kami beli Teddy Bear. Hanya anak orang kaya yang mampu membelinya. Main guru-murid, pasti nanti saya yang akan jadi guru. Saya jarang jadi murid. Karena kata mereka, saya yang paling pintar di antara mereka berdua, jadi lebih acocok jadi guru. 



Di antara banyak kenangan itu saya ingat salah satu kenangan yang bikin ngilu waktu itu ketika itu kami main di rumah Deli. Rumahnya rumah panggung. Sampai hari ini, rumah Deli masih rumah panggung. Hanya dapurnya saja yang sudah "diturunkan". 


Kami main di ruang tengahnya yang luas. Main boneka-bonekaan yang kami buat dengan sarung. Masing-masing kami satu boneka sarung. Entah bagaimana kejadiannya, saya lupa, yang jelas saat itu Deli dengan boneka sarungnya duduk di muara jendela rumahnya. Dia memang membuat 'rumah' dekat jendela itu. Jadi kesibukannya tak jauh dari sana. Nah, kami juga sibuk dengan boneka kami yang sudah dianggap bayi itu. Lalu terjadilah kejadian yang tidak kami sangka-sangka. Deli jatuh dari jendela rumah panggungnya ke tanah.


"Gedebug!!!"


Asli, saya dan Aryani kaget. Seketika kami menengok Deli yang sudah jatuh ke tanah melalui jendela tempat dia terjatuh tadi. Deli sudah "keras" di bawah sana. Badannya penuh becek. Soalnya semalam habis hujan. Dia tidak bergerak. Saya dan Aryani saling toleh. Otak anak-anak kami satu frekuensi. Deli sudah tidak bernyawa. Kami ketakutan. Maka tanpa menunggu aba-aba, saya dan Aryani langsung lari turun dari rumah panggung Deli dengan tak lupa membawa boneka sarung kami masing-masing. Pulang ke rumah masing-masing. Nasib Deli, entahlah. Kami berdua saat itu takut disalahkan. Sungguh keputusan anak-anak yang naif sekali saat itu. Keputusan yang membuat saya menyesal kalau ingat itu.


****


Dua hari setelahnya saya dan Aryani menyempatkan diri membesuk Deli. Alhamdulillah, dia tidak apa-apa. Sudah diurut oleh tukang urut patah. Tulang ekornya yang bermasalah karena terjatuh. Ternyata setelah saya dan Aryani kabur, ibu Deli tahu kalau anaknya terjatuh karena mendengar suara bedebug lalu beberapa menit kemudian Deli menangis. Dia segera dilarikan ke Puskesmas desa. Ditangani.


Saat datang hari itu, saya dan Aryani dinasehati oleh orang tua Deli tentang pertemanan. Beliau bilang, tidak boleh seperti itu. Seandainya saat itu ibu Deli tidak tahu kalau anaknya jatuh, pasti Deli sudah meninggal. Beliau juga mengatakan, kalau berteman itu harus saling jaga. Saat ada teman yang kecelakaan temannya harus membantu bukan lari.


Masa itu, kami tak begitu menghiraukan nasehat itu. Kami sudah sangat bahagia saat tahu Deli masih hidup. Karena di pikiran kami Deli sudah meninggal mengingat rumah panggung Deli cukup tinggi. Kami saat itu ketakutan. Takut disalahkan. Kalau Deli meninggal maka kami yang akan dikatakan membunuh dia. Maka kami akan ditangkap polisi lalu masuk penjara. Kami tidak ingin seperti itu. Makanya saya dan Aryani memilih kabur saat itu.


Bukan main takutnya saya dan Aryani ketika pulang ke rumah masing-masing. Makan tak enak. Tidur tak nyenyak. Besoknya "maling-maling" berita. Tapi tetap takut menemui Deli ke rumahnya, takut disalahkan oleh orang tuanya. Padahal kami berdua tidak tahu apa yang membuat Deli bisa jatuh.


Ibu saya saja sampai heran mengapa aku belum mengunjungi Deli yang sedang sakit? Kujawab saja, nanti. Setelah diskusi panjang dengan Aryani, hari kedua kami memberanikan diri membesuknya. Saat dibesuk kami hanya diam. Deli juga diam. Tatapan matanya marah. Seakan dia berkata,


"Kalian berdua tega, bukannya nolongin aku tapi malah lari. Dasar teman pengecut!"


Kami membalas dengan tatapan bersalah.


"Maaf. Kami hanya takut."


Tiap hari kami membesuk Deli. Lebih banyak diam. Deli masih marah. Kami pun tak tahu harus berbuat apa. Sampai hari ke enam baru dia banyak bicara. Akhirnya kami akrab seperti sedia kala. Ah, masa kanak-kanak memang selalu indah untuk dikenang.


Sampai hari ini kami masih berteman. Tapi tidak sedekat dulu lagi. Sudah sibuk masing-masing. Terutama saya. Sebab memang saya pernah bertanya pada Aryani, kenapa kita tidak sedekat dulu lagi? Dia bilang, kami malu sama kau, Jaka. Kau kan kuliah, sarjana, tidak pantas berteman dengan kami. Kami cuma lulusan SD.


Ya memang hanya saya yang terus melanjutkan pendidikan. Aryani hanya sampai SD. Deli hingga SMP. Tidak seperti cita-cita kami sejak kecil yang ingin kuliah bersama dan sukses bersama. Saya agak "menyesali" hal ini.


Kini, Aryani sudah menikah dan punya satu orang anak. Deli masih sendiri, bibiku bilang, dia tidak mau menikah. Alasannya masuk akal tapi tidak bisa saya ceritakan di sini. 


Saya selalu berdoa mudah-mudahan walau kami tidak dekat lagi di dunia tapi insya Allah, kami bisa dikumpulkan di surga-Nya kelak.



Pulau Harapan, 10112020



Foto hanya pemanis diambil via google, kami tidak punya foto masa kecil bahkan sampai sekarang.



#WAGFLPSumselMenulis

#lampauibatasmu